Giver vs Taker


No Longer Get The Right People On The Bus Rather 

Keep The Wrong People Off The Bus



Tentu kita taka sing dengan TED Talks. Salah satu  media ini terbukti memberi banyak pelayanan motivasi dan inspirasi dari berbagai lintas disiplin peran serta ilmu. Di salah satu video TED yang tak sengaja muncul dalam timeline youtube membawa saya pada menguatnya kepercayaan akan agama, Islam.

Islam secara tegas menyebutkan dalam salah satu riwayat, Rasulullah SAW bersabda bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Secara ringkas bisa diterjemahkan bahwa memberi itu jauh lebih baik dampaknya daripada menerima. Bukan berarti kita tidak boleh menerima sama sekali. Islam juga mengatur secara jelas tentang bagaimana kewajiban seorang muslim terhadap muslim yang lain adalah dengan tolong menolong dalam kebaikan. Bukankah islam benar-benar menyeluruh ? Namun kali ini bahasan akan lebih difokuskan pada hadist di atas, yakni givers (tangan di atas) dan takers (tangan di bawah).

Dalam video berdurasi kurang dari sepuluh menit, Adam Grant menjelaskan dengan jelas tentang bagaimana pentingnya keberadaan givers dan takers dalam sebuah tim. Adam menyebut takers adalah mereka yang sering bersikap paranoid dengan pertanyaan “What can you do for me?”. Dengan ini kita bisa menyimpulkan bahwa givers adalah mereka dengan pernyataan “What can I do for you?” Tidak jauh dari sana muncul lah para matchers, yakni mereka yang bertanya, “Aku akan melakukan sesuatu jika aku mendapatkan sesuatu,”. The matchers ini biasanya menempati peringkat teratas dalam komponen organisasi.

Bukan tentang kuantitas dan jumlah, lebih tepat pada peran dan kontribusi yang di ambil dari setiap peran. Data yang dibawa Adam menyebutkan, para givers memang melakukan lebih banyak kerja jika dibandingkan peran yang lain, sehingga terlihat givers adalah mereka yang super lelah dan biasa melakukan banyak hal. Hal ini sama sekali tidak salah. Meskipun givers tidak tepat jika diidentikkan dengan seseorang yang selalu ingin membantu dan memberi. Lebih tepatnya pada keinginan dan niat yang kuat sehingga membentuk kebiasaan (frequency of giving behavior) yang ada dalam sebuah tim.
Penelitian berhasil membuktikan apabila suatu organisasi, institus, ataupun komunitas terdapat banyak mereka yang berkeinginan untuk berbagi pengetahuan, ilmu, dengan menyediakan mentoring atau sejenisnya, maka tim tersebut akan bergerak maju dan mendapatkan profit. Keuntungan tak selalu tentang finansial, tapi itu hal yang tidak bisa dipungkiri, walau masih banyak profit yang bisa didapatkan seperti kepuasan pelanggan, biaya operasional yang berkurang, ataupun produktivitas pegawai yang meningkat.

Menjadi givers, takers, ataupun matchers, sama sekali bukanlah sebuah kepribadian, melainkan sebuah karakter yang bisa diubah dan dibudayakan. Inilah yang Islam ajarkan sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Tangan di atas adalah lebih baik daripada tangan di bawah. Memberi dalam artian tidak hanya dalam arti materi, tapi juga lebih kontekstual seperti ilmu dan pengetahuan. Pengambilan makna tangan diartikan sebagai hal yang bisa dijadikan pilihan, yakni berupa karakter. Tentu saja hal ini bisa dilatih menjadi lebih baik setiap harinya.

Pertanyaan selanjutnya, adalah bagaimana kita memproduksi budaya givers dalam sebuah tim. Adam menawarkan beberapa cara. Pertama dengan menyadari bahwa givers merupakan peran yang paling bernilai, namun apabila mereka tidak berhati-hati mereka akan merugi. Adam Rifkin mencontohkan dengan tegas dalam “five minute favour”. Prinsipnya adalah kita tidak perlu menunggu untuk menjadi Madam Theresa ataupun Mahatma Gandhi yang mampu memberikan seluruh hidupnya untuk kemanusiaan, cukup dengan hal-hal sederhana seperti membantu pertemuan antara dua orang yang dapat saling menguntungkan. Bahkan hal ini telah Rasulullah contohkan dalam hijrah pertama beliau ke madinah, yaitu dengan mempersaudarakan kaum anshar dan muhajirin, sehingga rasa kekeluargaan yang tercipta tak hanya sebatas dunia bahkan hingga tercium sampai surga. Selanjutnya, adalah tugas kita untuk menemukan bagaimana menyampaikan nilai-nilai kebaikan walau dengan cara sederhana.

Cara lain adalah dengan kita sangat sadar, paham, dan membutuhkan kondisi dimana saling menolong (help-seeking) – sebenarnya saya sedang mencari diksi yang tepat dengan isitilah tersebut – menjadi sebuah budaya. Dalam hal ini bukan berarti bahwa givers tidak bisa menjadi takers juga, lebih tepatnya mereka akan menjadi receiver (penerima) dan bukan pengambil (takers) dalam konteks. Disinilah peran givers terkadang akan berubah menjadi receiver. Karena untuk memunculkan givers lainnya, maka kita perlu mereka yang sadar, paham, dan tahu caranya dalam menerima pertolongan (receiver).

Satu penelitian di sebuah rumah sakit membuktikan, bahwa diantara sekian lantai RS ada satu lantai di mana budaya help-seeking oleh perawat menjadi nyata. Seolah perawat yang berada di lantai A menjadi paling banyak mendapat pekerjaan untuk melayani dan merawat pasien. Sementara di lantai lain mendapati beberapa perawat tampak tidak sesibuk perawat di lantai A. Setelah diamati ternyata dilantai A terdapat sosok perawat yang berperan menjadi receiver. Perawat itu tidak sungkan untuk meminta tolong, sekalipun sekali waktu dia tampak banyak kerja dengan kesibukannya mejadi giver.

Berlanjut ke Giver and Taker Part 02



Comments