Part 01 Menjadi Mahasiswa (Muslim) Ideal

Menuntut Ilmu adalah 'Episode Penderitaan'




Sebuah nasehat pertama yang diberikan oleh penulis buku Menjadi Mahasiswa Ideal. Beliau adalah Bapak Suherman, S.Si., M.Sc., Ph.D. salah satu dosen di Fakultas MIPA UGM yang dulunya merupakan salah satu aktivis di kampus biru ini.

Dalam kajian berjudul Adab Menuntut Ilmu, beliau menceritakan bagaimana seharusnya perjuangan para penuntut ilmu atau mereka yang biasa disebut dengan 'Mahasiswa'. 

Mahasiswa itu harus memiliki mental siap menderita karena sejatinya menuntut ilmu adalah episode penderitaan. Seorang mahasiswa sudah sewajarnya untuk mengorbankan waktu tidurnya di malam hari, mengorbankan waktu bermainnya untuk diganti dengan belajar. Baik belajar di ruang kuliah maupun di luar ruang kuliah, organisasi misalnya.

Dalam kitab Ta'limul Muta'allim bab menuntut ilmu pun disebutkan bahwa orang yang mencari mutiara harus menyelami lautan, sehingga apabila engkau menginginkan kemuliaan lalu engkau tidur di malam hari maka kemuliaan itu tidak akan bisa didapatkannya. Menjadikan waktu malam sebagai sebagian  dengan mengurangi jam tidur serta tidak makan terlalu kenyang agar dapat belajar di waktu malam. Hal ini pula yang kemudian disebut dnegan sikap wara' nya seorang penuntut ilmu.

Dunia mahasiswa tentu disibukkan pula dengan banyaknya kegiatan atau aktivitas di dalam dan di luar gedung kuliah. Hingga akhirnya muncul stigma bahwa antara mahasiswa prestatif dan organisatoris adalah sebuah pilihan. Ada mereka yang menyibukkan diri dengan akademiknya, mendulang banyak lomba, kompetisi, dan konferensi hingga predikat mapres bisa diraihnya itu adalah mahasiswa prestatif (mapres). Sementara bagi mereka yang memfokuskan dirinya ke berbagai kegiatan kampus seperti UKM BEM, Gama Cendekia, Atletik, Bridge, (unit kegiatan mahasiswa), organisasi intra maupun ekstra kampus KAMMI, GMNI, HMI, dan lainnya mereka sering disebut sebagai organisatoris atau aktivis kampus hingga mungkin predikat presiden mahasiswa (presma) bisa disandang.

Namun tak banyak pula mahasiswa yang kelak mampu menggapai ilmu dalam ruang kuliah dan di luar ruang kuliah.  Mereka dengan kerja keras mampu mendulang indeks prestasi memuaskan sekaligus melatih softskills dengan berbagai kegiatan organisasi. Tak sedikit pula mahasiswa yang mampu menyandingkan predikat Presma dan Mapres, sering disebut dengan Presmapres (presiden mahasiswa sekaligus mahasiswa berprestasi). Sebut saja salah satu kakak tingkaat di jurusanku, Gizi Kesehatan, Muhammad Ali Zaenal Abidin (Gizi Kesehatan angkatan 2012) yang kini sudah berkiprah di perusahaan internasional (aerofood). Tentunya  hal ini selaras dengan perjuangan beliau yang tertulis jelas di kedua judul bukunya yang salah satunya berjudul 'Bukan Mahasiswa Biasa'.

Seringkali kita membandingkan proses menuntut ilmu baik di kuliah dan di luar ruang kuliah adalah dua hal yang berbeda dan bersifat optional (pilihan). Bagai protein esensial dan non esensial yang saling melengkapi dan keduanya memang dibutuhkan untuk menjalankan proses metabolisme, begitu pula dengan menuntut ilmu di dalam dan luar ruang kuliah. Keduanya adalah kebutuhan yang kelak mampu melengkapi dan membentuk kita menjadi karakter yang baik dengan segala kompetensinya. Baik hardskill ataupun softskill.

Bagi mahasiswa, mencetak prestasi adalah sebuah kewajiban mutlak yang harus dicapai. Menguasai bidang ilmu yang telah dipilih juga termasuk keharusan. Dalam kitab ta'limul muta'allim dijelaskan bahwa "Definisi ilmu adalah sifat yang melekat pada seseorang yang memiliki gelar di bidangnya." Menjadi calon sarjana di bidang arsitektur tentu harus menguasai benar ilmu arsitektur, calon sarjana kedokteran tentu harus paham benar ilmu berkaitan dengan kedoteran, dan lainnya. Konteks memahami dan menuasai dapat dibuktikan secara sederhana dengan indeks prestasi yang memuaskan tentunya. Bisa disimpulkan seorang muslim haruslah memiliki IP yang baik sebagai bentuk pemahaman pada bidang ilmunya. 

Hal sekarang yang mungkin menjadi problematika mahasiswa baru adalah cara untuk berdaptasi dengan sistem pembeajaran baru perkuliahan dengan cepat. Pak Suherman menyebutnya 'mental pembelajar cepat'. Beliau berpesan bahwa setiap mahasiswa yang ingin sukses dalam akademik maupun organisasi haruslah bisa bekerja keras dan cerdas. Memanfaatkan segala fasilitas pembelajaran dengan maksimal dalam tempo sesingkat-singkatnya. Semisal dikatakan unutk menyelesaikan sebuah laporan praktikum dibutuhkan waktu selama 8 jam pada mahasiswa umunmnya, akan tetapi kita harus bisa mneyelesaikannya dalam waktu lebih cepat, 2 jam misalnya. Sehingga kita bisa memanfaatkan 6 jam tersisa untuk mengerjakan hal lain termasuk belajar di organisasi. Inilah yang disebut dengan 'mental pembelajar cepat'. Sekali lagi disini mahasiswa dituntut untuk menderita dalam mencari ilmu.

Bagi sebagian mahasiswa, berorganisasi juga adalah sebuah ladang untuk menuntut ilmu juga. Mereka sibuk mengasah softskills interaksi dengan berbagai macam tipe kepribadian, belajar memanejemen waktu dan tenaga. Seringkali rapat hingga larut malam sehingga lupa akan tugas dan laporan yang semakin tenggelam. Hal ini yang kemudian bisa dijadikan muhasabah diri (evaluasi), apakah selama ini tujuan untuk mengasah softskill tadi benar-benar dilakukan atau hanya sekedar mengisi waktu luang yang seringkali mendatangkangkan kelelahan tanpa hikmah dan pelajaran yang bisa dijadikan teladan. 

Beliau, Pak Suherman, berpesan jika ada dua niat penting dalam berorganisasi. Kedua niat ini yang kemudian jangan sampai terpisahkan karena bak vitamin C dan zat besi yang saling melengkapi. Yaitu niat bekerja dan belajar. Karena sejatinya berorganisasi adalah berproses untuk melatih kepemimpinan (leadership) dalam menjalankan program kerja (proker) yang setiap akhir kepengurusan pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh pihak kampus sebagai pemberi dana aktivitas organisasi.

Hal ini pula sering menjadi salah sasaran, karena seringkali mahasiswa hanya berkutat pada pelaksanaan proker saja dan melupakan esensi atau pembelajaran/hikmah dari proses berjalannya proker. Mereka hanya 'grudak gruduk (kesana kemari)' bersikap seolah sibuk dna produktif namun hanya menambah lelah, menguras waktu, menambah pengalaman, akan tetapi  lalai dalam mengambil hikmah dan pelajaran.

Inilah niat kedua bagi seorang aktivis organisasi, yaitu niat belajar (mengambil pejalaran). Apakah benar setelah sekian lama menyibukkan diri dalam organisasi kita bisa lebih semakin berpikir strategis ? Apakah kita bisa lebih baik dalam melakukan negosiasi dengan pihak kawan ataupun lawan ? Apakah kemampuan problem solving kita benar-benar terasah ? Bukankah hal itulah yang menjadi tujuan kita unutk bergabung dengan suatu organisasi ? Tidak hanya menambal waktu luang dan menambah relasi, tetapi juga bisa mengembangkan karakter dan memperbaiki kemampuan diri.

Sekali lagi diperlukan pengorbanan energi dan kalori dalam hal ini. Berkorban menjadi mahasiswa membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga. Karena ilmu tidak akan didapat tanpa enam perkara, kara imam Syafie, yaitu kecerdasan, semangat, sungguh-sungguh, berkecukupan, hormat dengan guru, dan waktu yang lama. Sekali lagi islam mengajarkan nilai pengobanan di sana, bahwa menjadi penuntut ilmu a.k.a. mahasiswa adalah menderita.

Karena surga tidak diperoleh dengan tanpa lelah dan air mata. 

Kamar Asrama,30 Agustus 2018

Comments