12% Kembali Ke Jalan Yang Lurus!

“Tik, ayo putar balik sekarang,” suara Kin gemetar. 




Sekali ia melihat sekitar. Tidak ada cahaya di sana, dan jalanan itu terlalu licin untuk dilalui. Rupanya hujan baru saja menyeberangi jalan duluan sebelum mereka datang. Pohon dan semak belukar rapat menghalangi mata yang mencoba menjauhkan pandangan. Inilah makna gelap sejatinya, saat dimana mata kita tak dapat menangkap seberkaspun cahaya bahkan tanpa kacamata. Kedua tangan Kin masih kuat menggenggam rem dan menahan gas. Sementara kakinya sudah mulai kedinginan dan kembali bergetar. Tak ada aroma knalpot dari arah berlawanan, tandanya memang tak seorang pun yang berani melintas di jalanan itu sedari sore hari.

Hampir 45 derajar sejauh 100 meter sudah mereka lalui. Kini kedua mesin berasap itu tak berkutik, sama-sama jenuh dalam pikir. Gravitasi memaksa mereka bertindak cepat, atau kedua roda akan duluan memutuskan untuk mundur dari perjuangan.

“Aku turun dulu Kin, sebentar!” sela Alim tepat dibelakangnya. Beban motor berkurang, namun tidak ketegangan. Dengan setengah tergesa Kin memindahkan lampu sorot depan ke bawah. Lalu membalik mesin besar itu ke kanan. Tangannya masih mencengkram rem dengan kuat.

“Ayo lim!”

“Naik!” Kita putar arah,”


Alim menyamankan posisi duduknya. Kemudian motor pun melaju perlahan, sangat pelan menuruni tanjakan curam menjadi turunan licin. Dua pulu meter berjalan, mereka melihat sosok paruh baya berdiri di sebelah jalan. Di depan rumah terakhir yang meraka lewati, seorang bapak tua berdiri tanpa memakai alas kaki. Alim bisa melihat remang lampu yang berkedip di depan. Semakin lama tampak jelas pula sosok itu berdiri menanti mereka. Sorot matanya tajam menyusuri dua motor yang berjalan ke arahnya.

“Mau kemana kalian?”  suaranya tak bergetar, seolah fisiknya masih sangat muda dan kuat tentu saja. Rambutnya terurai sebahu, memutih dan sedikit tidak rapi. Ahyar bergidik. Motornya masih ada di belakang motor Kin. Kemudian ia maju perlahan membuat keduanya sejajar, dan menghalangi jalan. Tidak juga, karena tak mungkin ada yang menuju atas gunung di malam hari.

“Mau ke daerah Batu, Pak,” Alim menjawab cepat. “Tapi kami rasa kami salah jalan, ini mau balik Pak,” lanjutnya sembari menepuk bahu Kin seolah menyuruhnya menyalakan gas motor dan segera pergi dari tempat itu.

“Oh, kalau mau ke Batu ya bisa dih lewat sini, tapi siang hari. Kalau malam ya lewat jalur lain. Ini nanti dari perempatan depan kalian ambil kanan, ikuti jalan beraspal,….” Bapaknya baik ternyata.

Beliau menjelaskan jalan alternatif, tapi tetap saja Kin tidak bisa berkonsentrasi mendengarnya. Karena suasana semakin dingin dan sedari tadi kaki dan tangannya ingin menekan gas dan cepat pergi.

Setelah mengucapkan terima kasih, ketiga remaja itu memutuskan pergi. Mereka menuruni tanjakan dengan kecepatan rendah. Beberapa warga di sekitar melihat kea rah mereka. Rupanya tak banyak orang yang menuju arah gunung jam malam-malam begini.

“Lim, baterai tinggal berapa?” Kin masih berkonsentrasi untuk memutar arah, kembali ke jalan raya utama. 

Mereka sudah menghabiskan hampir 30 menit untuk menuju jalan curam itu, dan kini 30 menit pula mereka harus kembali ke jalur utama. Kembali ke jalan yang lurus.


Jalan yang diridhoi Allah untuk menyusul perkemahan malam minggu itu. Alim menjawab cepat “Dua belas persen”

“Dan setiap 5 menit bateraiku berkurang satu persen!” jelasnya. 

Berarti tinggal tersisa 60 menit perjalanan ke lokasi kemah. Batu. Sepintas Kin mengambil hape Alim dan mengubah arah perjalanan. Aplikasi yang kami pakai memang sangat membantu dalam menunjuk arah, hanya saja ada kesalahan di mana kami memilih jalur tercepat dan harus memotoh bukit. Potongan bukit tadi hampir saja kami melewatinya. Dan itu tidak mungkin bisa dilewati, terlalu berbahaya menjadi jalur motor malam hari.

Kami memilih jalur yang sedikit lebih jauh tapi ramai kendaraan. Tidak juga. Siapa pula pukul delapan malam masih mau berlalu lalang di desa yang sepi ini. Kin menekan gas. Semakin lama smakin cepat. Setelah bertemu jalan raya, Kin berbelok arah. Menuju jalan yang lurus dan di ridhoi Allah.

Inilah jalan yang seharusnya dilewati. Sejak pertama. Rupanya Alim salah memberi aba-aba jalan dan akhirnya mereka tersesat cukup jauh dari jalan kebenaran.

“Sudah kuduga, aku melihat jalan pinus di depan, tapi kenapa tadi kamu bilang belok kanan!” Ujar Kin membenarkan diri. Seolah ia mengetahui bahwa mereka akan salah memilih jalan. Tapi tetap saja, toh, tadi dia nurut-nurut saja sama arahannya Alim.

“Lha aku gak tahu kalau jalannya ada alternatifnya, orang dari tadi juga sama tujuannya!” Alim tak mau kalah.

“Iya sama tujuan, tapi kan tadi medannya gak bisa dibuat lewat! Lain kali kalau mau ngasih arahan ya pastika dulu itu jalan mana.” Kin sedikit kesal karena berarti mereka harus bertambah 1 jam perjalanan akibat salah arah.

“Iya iya!” Alim hanya menjawab singkat. Kali ini memang tidak ada yang sejatinya benar.

Ahyar dari belakang hanya tersenyum melihat kedua temannya berdiskusi di depan. Ia tahu itu bukan diskusi tapi Kin yang kesal ke Alim karena salah memberi arah jalan. Saat gerimis. Malam hari. Dingin pula.

Memasuki kawasan pinus, jalanan menjadi semakin terjal dan berliku. Cobaan semakin menjadi-jadi. Tak semudah itu ferguso! Sebelum masuk pinus kami berbelok kea rah kebuh buah. Malam hari memang beda. Biasanya Kin pernah melintasi jalan ini dan terasa biasa saja. Tapi suasana malam membuatnya terasa sedikit menyeramkan. Beberapa meter tidak terdapat lampu jalan juga rumah warga. Alhasil mereka harus berkonstrasi pada penanda tengah jalan, yang berwarna putih. Dan jika beruntung mereka akan mendapati pembatas jalan berwarna palang kuning atau merah. Jalannya sedikit terbatas, untuk berpapasan satu mobil dan dua motor saja harus butuh tenaga ekstra dan kehati-hatian.

“Bener ini jalannya?” Kin mulai tidak yakin. Jangan-jangan Alim salah membaca peta lagi, dan mereka akan memutar lagi. “Lim!” suaranya mengeras.

“Iya bener, ini jalannya!” Nih!” ALim mengiyodrkan peta di depan helm Kin. Sialan dia tidak bisa focus lihat jalan.

“Iya, iya percaya!” Kin melengos menyingkirkan hape dari kaca helmnya. Jalan semakin tajam dan belokannya semakin curam. Lampu pun jarang terlihat dan lebih banyak gelap. Sudah hampir satu jam mereka berpapasan angina jalan. Semakin sepi dan gemerlap bintang Nampak jelas di atas.

Alim menghela nafas. Kin juga. Sudah 15 menit tak satu pun kendaraan berpapasan.

“Jangan lupa dzikir, Lim!” sekejap Kin berpesan. Ia masih sangat berkonsentrasi pada jalanan.

“Iya, dari tadi juga udah!”

Motor melaju semakin pelan, karena sekarang mereka harus melewati jalan turun yang semakin tak terlihat batas jalannya. Masih tidak ada lampu. Sementara Ahyar dengan tenang mengikuti mereka dari belakang. Ia sama sekali tak takut bisa ada sosok lain yang mengikutinya pula dari belakang. Bagaimana mungkin ia melihatnya.

“Berapa bateraimu?” Kin masih bertanya lagi. Walau ia sebenarnya tak mau mendengar jawabannya. 

“Tiga persen,” lima belas menit lagi sampai atau mereka akan benar-benar tersesat di tengah jalan menuju Batu.

Kin menghela nafas.

Perjalanan harus berlanjut.

Purple Dorm 27.1.2019 : 16:39

Comments