“Tik, ayo putar balik sekarang,” suara Kin gemetar.
Sekali
ia melihat sekitar. Tidak ada cahaya di sana, dan jalanan itu terlalu licin
untuk dilalui. Rupanya hujan baru saja menyeberangi jalan duluan sebelum mereka
datang. Pohon dan semak belukar rapat menghalangi mata yang mencoba menjauhkan
pandangan. Inilah makna gelap sejatinya, saat dimana mata kita tak dapat
menangkap seberkaspun cahaya bahkan tanpa kacamata. Kedua tangan Kin masih kuat
menggenggam rem dan menahan gas. Sementara kakinya sudah mulai kedinginan dan
kembali bergetar. Tak ada aroma knalpot dari arah berlawanan, tandanya memang
tak seorang pun yang berani melintas di jalanan itu sedari sore hari.
Hampir 45 derajar sejauh 100 meter sudah mereka lalui. Kini
kedua mesin berasap itu tak berkutik, sama-sama jenuh dalam pikir. Gravitasi
memaksa mereka bertindak cepat, atau kedua roda akan duluan memutuskan untuk
mundur dari perjuangan.
“Aku turun dulu Kin, sebentar!” sela Alim tepat
dibelakangnya. Beban motor berkurang, namun tidak ketegangan. Dengan setengah
tergesa Kin memindahkan lampu sorot depan ke bawah. Lalu membalik mesin besar
itu ke kanan. Tangannya masih mencengkram rem dengan kuat.
“Ayo lim!”
“Naik!” Kita putar arah,”
Alim menyamankan posisi duduknya. Kemudian motor pun melaju
perlahan, sangat pelan menuruni tanjakan curam menjadi turunan licin. Dua pulu
meter berjalan, mereka melihat sosok paruh baya berdiri di sebelah jalan. Di
depan rumah terakhir yang meraka lewati, seorang bapak tua berdiri tanpa
memakai alas kaki. Alim bisa melihat remang lampu yang berkedip di depan.
Semakin lama tampak jelas pula sosok itu berdiri menanti mereka. Sorot matanya
tajam menyusuri dua motor yang berjalan ke arahnya.
“Mau kemana kalian?”
suaranya tak bergetar, seolah fisiknya masih sangat muda dan kuat tentu
saja. Rambutnya terurai sebahu, memutih dan sedikit tidak rapi. Ahyar bergidik.
Motornya masih ada di belakang motor Kin. Kemudian ia maju perlahan membuat
keduanya sejajar, dan menghalangi jalan. Tidak juga, karena tak mungkin ada
yang menuju atas gunung di malam hari.
“Mau ke daerah Batu, Pak,” Alim menjawab cepat. “Tapi kami
rasa kami salah jalan, ini mau balik Pak,” lanjutnya sembari menepuk bahu Kin
seolah menyuruhnya menyalakan gas motor dan segera pergi dari tempat itu.
“Oh, kalau mau ke Batu ya bisa dih lewat sini, tapi siang
hari. Kalau malam ya lewat jalur lain. Ini nanti dari perempatan depan kalian
ambil kanan, ikuti jalan beraspal,….” Bapaknya baik ternyata.
Beliau menjelaskan jalan alternatif, tapi
tetap saja Kin tidak bisa berkonsentrasi mendengarnya. Karena suasana semakin
dingin dan sedari tadi kaki dan tangannya ingin menekan gas dan cepat pergi.
Setelah mengucapkan terima kasih, ketiga remaja itu
memutuskan pergi. Mereka menuruni tanjakan dengan kecepatan rendah. Beberapa
warga di sekitar melihat kea rah mereka. Rupanya tak banyak orang yang menuju
arah gunung jam malam-malam begini.
“Lim, baterai tinggal berapa?” Kin masih berkonsentrasi
untuk memutar arah, kembali ke jalan raya utama.
Mereka sudah menghabiskan hampir 30 menit untuk menuju jalan curam itu, dan kini 30 menit pula mereka harus kembali ke jalur utama. Kembali ke jalan yang lurus.
Jalan yang diridhoi Allah untuk menyusul perkemahan malam
minggu itu. Alim menjawab cepat “Dua belas persen”
“Dan setiap 5 menit bateraiku berkurang satu persen!”
jelasnya.
Berarti tinggal tersisa 60 menit perjalanan ke lokasi kemah. Batu.
Sepintas Kin mengambil hape Alim dan mengubah arah perjalanan. Aplikasi yang
kami pakai memang sangat membantu dalam menunjuk arah, hanya saja ada kesalahan
di mana kami memilih jalur tercepat dan harus memotoh bukit. Potongan bukit
tadi hampir saja kami melewatinya. Dan itu tidak mungkin bisa dilewati, terlalu
berbahaya menjadi jalur motor malam hari.
Kami memilih jalur yang sedikit lebih jauh tapi ramai
kendaraan. Tidak juga. Siapa pula pukul delapan malam masih mau berlalu lalang
di desa yang sepi ini. Kin menekan gas. Semakin lama smakin cepat. Setelah
bertemu jalan raya, Kin berbelok arah. Menuju jalan yang lurus dan di ridhoi
Allah.
Inilah jalan yang seharusnya dilewati. Sejak pertama.
Rupanya Alim salah memberi aba-aba jalan dan akhirnya mereka tersesat cukup
jauh dari jalan kebenaran.
“Sudah kuduga, aku melihat jalan pinus di depan, tapi kenapa
tadi kamu bilang belok kanan!” Ujar Kin membenarkan diri. Seolah ia mengetahui
bahwa mereka akan salah memilih jalan. Tapi tetap saja, toh, tadi dia nurut-nurut
saja sama arahannya Alim.
“Lha aku gak tahu kalau jalannya ada alternatifnya, orang
dari tadi juga sama tujuannya!” Alim tak mau kalah.
“Iya sama tujuan, tapi kan tadi medannya gak bisa dibuat
lewat! Lain kali kalau mau ngasih arahan ya pastika dulu itu jalan mana.” Kin
sedikit kesal karena berarti mereka harus bertambah 1 jam perjalanan akibat
salah arah.
“Iya iya!” Alim hanya menjawab singkat. Kali ini memang
tidak ada yang sejatinya benar.
Ahyar dari belakang hanya tersenyum melihat kedua temannya
berdiskusi di depan. Ia tahu itu bukan diskusi tapi Kin yang kesal ke Alim karena
salah memberi arah jalan. Saat gerimis. Malam hari. Dingin pula.
Memasuki kawasan pinus, jalanan menjadi semakin terjal dan
berliku. Cobaan semakin menjadi-jadi. Tak semudah itu ferguso! Sebelum masuk
pinus kami berbelok kea rah kebuh buah. Malam hari memang beda. Biasanya Kin
pernah melintasi jalan ini dan terasa biasa saja. Tapi suasana malam membuatnya
terasa sedikit menyeramkan. Beberapa meter tidak terdapat lampu jalan juga
rumah warga. Alhasil mereka harus berkonstrasi pada penanda tengah jalan, yang
berwarna putih. Dan jika beruntung mereka akan mendapati pembatas jalan berwarna
palang kuning atau merah. Jalannya sedikit terbatas, untuk berpapasan satu
mobil dan dua motor saja harus butuh tenaga ekstra dan kehati-hatian.
“Bener ini jalannya?” Kin mulai tidak yakin. Jangan-jangan
Alim salah membaca peta lagi, dan mereka akan memutar lagi. “Lim!” suaranya
mengeras.
“Iya bener, ini jalannya!” Nih!” ALim mengiyodrkan peta di
depan helm Kin. Sialan dia tidak bisa focus lihat jalan.
“Iya, iya percaya!” Kin melengos menyingkirkan hape dari
kaca helmnya. Jalan semakin tajam dan belokannya semakin curam. Lampu pun
jarang terlihat dan lebih banyak gelap. Sudah hampir satu jam mereka berpapasan
angina jalan. Semakin sepi dan gemerlap bintang Nampak jelas di atas.
Alim menghela nafas. Kin juga. Sudah 15 menit tak satu pun
kendaraan berpapasan.
“Jangan lupa dzikir, Lim!” sekejap Kin berpesan. Ia masih
sangat berkonsentrasi pada jalanan.
“Iya, dari tadi juga udah!”
Motor melaju semakin pelan, karena sekarang mereka harus
melewati jalan turun yang semakin tak terlihat batas jalannya. Masih tidak ada
lampu. Sementara Ahyar dengan tenang mengikuti mereka dari belakang. Ia sama
sekali tak takut bisa ada sosok lain yang mengikutinya pula dari belakang.
Bagaimana mungkin ia melihatnya.
“Berapa bateraimu?” Kin masih bertanya lagi. Walau ia sebenarnya tak mau mendengar jawabannya.
“Tiga persen,” lima belas menit lagi sampai atau mereka akan
benar-benar tersesat di tengah jalan menuju Batu.
Kin menghela nafas.
Perjalanan harus berlanjut.
Purple Dorm 27.1.2019 : 16:39
Comments
Post a Comment