Tauhid adalah dasar yang paling pokok dalam ajaran islam. Kita bisa
meneladani ketauhidan yang murni dari akhlak Rasulullah semasa hidup beliau,
karena beliau memanglah manusia yang sempurna (insan kamil), yaitu bertauhid
dengan istiqomah dan paripurna sehingga menjadi rujukan bagi setiap mukmin.
Seperti yang pernah diriwayatkan Aisyah, istri Rasulullah, bahwa akhlak
Rasulullah adalah akhlak Al-Qur’an.
Bersamaan dengan penyebaran islam ke penjuru dunia, umat islam
mulai menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pesat. Berbagai pemikiran
dijumpai dan melahirkan pemikiran baru pula seperti filsafat. Beberapa ilmu
membawa dampak positif dan negatif. Tauhid, sebagai inti dasar ajaran islam
menjadi bahasan di kalangan cendekiawan muslim masa itu.
Perkembangan ilmu menghendaki adanya kemerdekaan berfikir dan
bergerak yang mempengaruhi seluruh aspek manusia, termasuk dalam pemerintahan
dan politik. Sistem ketatanegaraan yang berubah mengembangkan konsep-konsep
baru dalam perspektif kepemimpinan yang seringkali tidak mengarah ke persatuan,
tetapi perpecahan. Sejarah mencatat beberapa tragedi terpecahnya umat akibat
perbedaan pendapat tidak dapat ditoleransi dan menyebabkan runtuhnya sebuah
pemerintahan.
Keragaman pendapat seyogianya menjadi hal lumrah dalam dinamika
pemikiran inteletektual. Namun, atas nama kepentingan, beberapa manusia
memanfaatkannya sebagai pemecah persatuan umat islam, yang pada puncaknya
runtuhlah kekhalifahan terakhir. Hal ini membuat muslim menjadi lemah.
Kebenaran penafsiran tak lagi didukung oleh hakikat objektif suatu tafsiran,
tapi lebih pada kepentingan terhadap suatu kelompok yang politis. Banyak ilmuan
dan ulama muslim mengalami penyiksaan akibat perbedaan pendapat dengan pemegang
kepentingan. Tidak sedikit dari mereka yang dipenjara bahkan hingga akhir
hayatnya tidak bisa memakai baju kemerdekaan atas kemanusiaan. Hal ini karena
kuatnya tauhid yang menyimpang.
Penjajahan mental dan moral umat islam semakin meluas. Akibatnya, islam
tidak lagi mengarah pada penghayatan dan penalran nilai-nilai agama, tapi
berubah menjadi formalitas yang baku dan kaku. Kualitas umat muslim pun
menurun. Hal ini secara progresif terjadi hingga abad ke-15. Tuntutan
pendidikan umat islam yang bermutu mulai meningkat, sehingga banyak kampus yang
berinisiatif untuk kembali mengkaji ilmu-ilmu agama islam secara khusus. Hadir juga
komunitas atas dasar nilai islam diberbagai belahan dunia, misal MSA, FOSIS,
SFMSA, dan IIFSO. Begitu pula perkembangannya di tanah air kita, terwujudnya
kesadaran intelektual akan pentingnya wadah yang mampu menfasilitasi
kemerdekaan dan kesadaran dalam mempelajari islam, salah satunya Salman ITB.
Sebagai seorang hamba, manusia ialah makhluk Allah, yang memiliki
watak penyembah atau pengabdi. Hal ini tentu sudah ter-inherent dalam
diri manusia. Hal ini pula yang menyebabkan munculnya berbagai kepercayaan
tradisonal, seperti klenik animisme, dinamisme, dan lainnya. Secara tegas dalam
Al-Qur’an Allah menjelaskan bahwa penciptaan manusia adalah agar manusia
beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah di muka bumi. Kepercayaan manusia
atas sesuatu inilah yang kemudian menjadi dasar dari kepercayaan manusia kepada
tuhannya.
Nilai kemanusiaan mengalami distorsi. Harga diri setiap manusia
sejatinya dapat diukur dengan derajat kemerdekaan yang bisa dihayati dan
diperahankan manusia itu. Konsep hidup manusia adalah give and take
(memberi dan menerima), yang keduanya haruslah tidak timpang sebelah. Apabila
salah satu berlebih atau kurang, maka hak kemerdekaannya pun akan tidak utuh.
Namun zaman sekarang manusia telah banyak yang saling mengurangi dan melebihkan
hak tersebut antar manusia yang lain.
Banyak dari kita yang masih suka mengambil hak orang lain, misal
tidak membayar zakat, korupsi, dan banyak hal. Rasa kagum terhadap seseorang
atau suatu hal berlebihan juga menjadi sarana iblis untuk menghasut manusia
dalam memiliki rasa ketergantungan terhadap hal tersebut. Kekaguman berlebihan
dapat mengarahkan pada pengertian penyembahan sehingga bisa mengotori tauhid
dasar seorang insan.
Tauhid seorang hamba dipengaruhi oleh akal dan rasa. Dengan akal
manusia dapat menimbang, menganalisa, memahami, dan menentukan keputusan.
Sementara rasa dapat membantu manusia untuk menghargai kesimbangan dan
keharmonian. Manusia pun tak kan hanya menjadi penuntut kebenaran tapi juga
pecinta kebenaran, keindahan, serta keadilan.
Sebagai seorang hamba, kita harus bisa menyukuri kedua nikmat di
atas, dengan mengembangkan potensi dan memanfaatkan keduanya dengan maksimal.
Sehingga mampu menjadi manusia yang berakal cerdas, sarat ilmu serta berwatak
cinta akan kebenaran dan keadilan. Menjadikan iman dan ilmu sebagai sarana
untuk bermanfaat dalam hidup. Meyakini bahwa segala sesuatu telah diatur
sedemikian oleh sang Maha Pemilik Segalanya. Meyakini dan menghargai bahwa
setiap manusia adalah merdeka dengan keistimewaannya masing-masing.
Dalam islam sendiri atheis atau orang yang tak bertuhan dikenal
dengan istilah mulhid atau ilhad, yang artinya ‘menggali lobang atau terjerumus
dalam lobang galian’. Jadi tak ada hubungannya dengan atheis secara harfiah.
Ketiadaan definisi atheis dalam Al-Qur’an menjadi bukti bahwa paham atheis
memang tidak patut dibenarkan karena tidak masuk akal. Keberadaan atheis
sendiri seringkali karena manusia terlalu pintar dan berani sehingga tidak
perlu percaya pada sesuatu yang tak bisa dibuktikan. Selain itu ada istilah
agnostic yaitu mereka yang mempertuhankan akalnya, dan menolak agama.
Sementara Al-Qur’an sering menggunakan kata ilah dalam menyebut
wujud yang dibesarkan atau dipentingkan oleh manusia sehingga manusia sering
merelakan diri dikuasai olehnya untuk mengagungkannya, mengharap kegembiraan
darinya, dan merupakan sesuatu yang ditakuti apabila mendatangkan kerugian.
Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa Al-Ilah adalah yang dapat dipuja
dengan kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri di depannya, takut
dan mengharapkannya, serta menjadi tempat berpasrah dalam kesulitan, bertawakal
padanya, serta tenang saat mengingatnya. Sehingga secara definisi dapat
dipahami bahwa tuhan bisa berbentuk apa saja, misal, nafsu, benda, zat, dan
lainnya.
Islam mengenal istilah syirik dan musyrik, yaitu ketika manusia
bertuhankan lebih dari satu. Syirik berarti mencampurkan hal-hal, dan orang
yang syirik disebut musyrik. Metauhidkan Allah memang suatu jihad yang terbesar
dalam hidup, karenanya hal ini sangat sulit. Banyak dijumpai mereka yang sudah
rajin beribadah pun masih bersikap syirik terhadap suatu hal, biasanya dijumpai
dalam bentuk rasa ketergantungan. Dosa syirik adalah dosa yang tidak terampuni.
Manusia dalam zamannya telah mengenal beberapa tuhan selain Allah,
yang biasa disebut dengan tuhan-tuhan yang popular. Misalnya harta, tahta, dan
wanita, yang sejatinya mampu merampas kebahagiaan dan kemerdekaan seorang
manusia, menjadikannya budak dunia yang patuh dalam kesombongan. Sehingga
seorang yang mentauhidkan Allah tidak akan mungkin membiarkan dirinya terjatuh
dalam lingkatan tuhan-tuhan populis tadi dan membiarkan kemerdekannya terhisap
olehnya.
Dengan bertuhankan kepada Dzat Yang Maha Memiliki Segalanya, maka
manusia akan mendapatkan kemerdekaan sejati. Kemerdekaan yang akan tetap ada
walau jiwa sudah diambil oleh Nya, karena kemerdekaan seseorang sebanding
dengan nilai kemanusiaan yang dihayatinya. Sungguh mereka yang hingga mati
tetap mempertahankan kemerdekaannya akan lebih dihargai Allah karena telah
menjadi saksi akan kebenaran ajaran Allah SWT, yang mengutamakan nilai
kemanusiaan dan kemerdekaan.
Sifat manusia itu cenderung mementingkan sesuatu, dan sebaik-baik
kepentingan adalah kepentingan yang hanif (baik). Manusia memang cenderung
mudah berpindah dari kepentingan satu ke yang lain, atau mudah bertuhankan satu
ke tuhan yang lain. Misal saat lapar maka manusia akan lebih menuhankan makanan,
ketika sakit orang akan menuhankan kesehatan.
Sehingga ketika manusia mengatakan ‘tidak ada tuhan’ maka berarti
‘tidak ada kebenaran’, sehingga semuanya adalah salah, jika semuanya salah,
maka pernyataan tidak ada tuhan juga salah. Karenanya islam tidak mengenal
istilah atheis. Sementara dalam islam, tuhan dikenal dengan menggunakan kata
Allah, yang tidak memiliki jama’ dalam bahasa arab. Sehingga bersifat Maha Tunggal
atau Esa. Sementara kata laa-illaha illa Allah sendiri mengandung makna ultimate
declaration of independence, yaitu kemerdekaan yang paling tinggi. Karena
tiada tuhan selain Allah, adalah deklarasi yang membebaskan setiap manusia dari
segala bentuk perbudakan dan penjajahan termasuk oleh hawa nafsunya sehingga
mampu menjadi manusia seutuhnya atau insan kamil. Selanjutnya adalah berikrar
dengan dua syahadat, yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Kesaksian ini akan menjadi jembatan hati
antara setiap muslim dengan Al Qur’an dalam ketauhidan.
Dalam sejarah manusia dikenal dengan dua tokoh yang bisa dijadikan
teladan hidup, yaitu Ibrahim dan Muhammad. Ibrahim adalah seorang nabi yang
mendapat julukan Bapak Kemerdekaan atau Bapak Kemanusiaan yang utama. Dengan
ketauhidannya pada kaliamt Laa-illaha illa Allah, Nabi Ibrahim mampu bertahan
dengan berbagai ujian hidup dari Yang Maha Kuasa, sehingga kelak dari
keturunannya lahir sosok manusia yang mulia. Muhammad, manusia yang membawa
misi luar biasa untuk mengantarkan umat manusia menuju cahaya zaman dan menjadi
pembawa rahmat bagi kemanusiaan.
Mentauhidkan Allah berarti mengabdi hanya kepada Allah, Tuhan
Pemilik Segala yang akan membebaskan kita dari rasa lapar dan mengamankan
mereka dari rasa takut. Mentauhidkan Allah adalah sebuah ikhtiar yang paling
besar dalam hidup setiap insan, dengan mengucapkan Laa-ilaaha illa Allah, maka
mereka adalah sosok yang memilik sikap mental kemanusiaan yang tinggi
derajatnya, pribadi yang tak mengenal kata tunduk kecuali pada Allah semata.
Mereka inilah yang paling berbahagia dalam hidup di dunia.
Resume Tauhid - Karya M. Imaduddin Abdulrahim (Resume) SSC 2019
Comments
Post a Comment