TAUHID, SUDAHKAH ?




Tauhid adalah dasar yang paling pokok dalam ajaran islam. Kita bisa meneladani ketauhidan yang murni dari akhlak Rasulullah semasa hidup beliau, karena beliau memanglah manusia yang sempurna (insan kamil), yaitu bertauhid dengan istiqomah dan paripurna sehingga menjadi rujukan bagi setiap mukmin. Seperti yang pernah diriwayatkan Aisyah, istri Rasulullah, bahwa akhlak Rasulullah adalah akhlak Al-Qur’an.

Bersamaan dengan penyebaran islam ke penjuru dunia, umat islam mulai menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pesat. Berbagai pemikiran dijumpai dan melahirkan pemikiran baru pula seperti filsafat. Beberapa ilmu membawa dampak positif dan negatif. Tauhid, sebagai inti dasar ajaran islam menjadi bahasan di kalangan cendekiawan muslim masa itu.

Perkembangan ilmu menghendaki adanya kemerdekaan berfikir dan bergerak yang mempengaruhi seluruh aspek manusia, termasuk dalam pemerintahan dan politik. Sistem ketatanegaraan yang berubah mengembangkan konsep-konsep baru dalam perspektif kepemimpinan yang seringkali tidak mengarah ke persatuan, tetapi perpecahan. Sejarah mencatat beberapa tragedi terpecahnya umat akibat perbedaan pendapat tidak dapat ditoleransi dan menyebabkan runtuhnya sebuah pemerintahan.

Keragaman pendapat seyogianya menjadi hal lumrah dalam dinamika pemikiran inteletektual. Namun, atas nama kepentingan, beberapa manusia memanfaatkannya sebagai pemecah persatuan umat islam, yang pada puncaknya runtuhlah kekhalifahan terakhir. Hal ini membuat muslim menjadi lemah. Kebenaran penafsiran tak lagi didukung oleh hakikat objektif suatu tafsiran, tapi lebih pada kepentingan terhadap suatu kelompok yang politis. Banyak ilmuan dan ulama muslim mengalami penyiksaan akibat perbedaan pendapat dengan pemegang kepentingan. Tidak sedikit dari mereka yang dipenjara bahkan hingga akhir hayatnya tidak bisa memakai baju kemerdekaan atas kemanusiaan. Hal ini karena kuatnya tauhid yang menyimpang.

Penjajahan mental dan moral umat islam semakin meluas. Akibatnya, islam tidak lagi mengarah pada penghayatan dan penalran nilai-nilai agama, tapi berubah menjadi formalitas yang baku dan kaku. Kualitas umat muslim pun menurun. Hal ini secara progresif terjadi hingga abad ke-15. Tuntutan pendidikan umat islam yang bermutu mulai meningkat, sehingga banyak kampus yang berinisiatif untuk kembali mengkaji ilmu-ilmu agama islam secara khusus. Hadir juga komunitas atas dasar nilai islam diberbagai belahan dunia, misal MSA, FOSIS, SFMSA, dan IIFSO. Begitu pula perkembangannya di tanah air kita, terwujudnya kesadaran intelektual akan pentingnya wadah yang mampu menfasilitasi kemerdekaan dan kesadaran dalam mempelajari islam, salah satunya Salman ITB.

Sebagai seorang hamba, manusia ialah makhluk Allah, yang memiliki watak penyembah atau pengabdi. Hal ini tentu sudah ter-inherent dalam diri manusia. Hal ini pula yang menyebabkan munculnya berbagai kepercayaan tradisonal, seperti klenik animisme, dinamisme, dan lainnya. Secara tegas dalam Al-Qur’an Allah menjelaskan bahwa penciptaan manusia adalah agar manusia beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah di muka bumi. Kepercayaan manusia atas sesuatu inilah yang kemudian menjadi dasar dari kepercayaan manusia kepada tuhannya. 

Nilai kemanusiaan mengalami distorsi. Harga diri setiap manusia sejatinya dapat diukur dengan derajat kemerdekaan yang bisa dihayati dan diperahankan manusia itu. Konsep hidup manusia adalah give and take (memberi dan menerima), yang keduanya haruslah tidak timpang sebelah. Apabila salah satu berlebih atau kurang, maka hak kemerdekaannya pun akan tidak utuh. Namun zaman sekarang manusia telah banyak yang saling mengurangi dan melebihkan hak tersebut antar manusia yang lain.

Banyak dari kita yang masih suka mengambil hak orang lain, misal tidak membayar zakat, korupsi, dan banyak hal. Rasa kagum terhadap seseorang atau suatu hal berlebihan juga menjadi sarana iblis untuk menghasut manusia dalam memiliki rasa ketergantungan terhadap hal tersebut. Kekaguman berlebihan dapat mengarahkan pada pengertian penyembahan sehingga bisa mengotori tauhid dasar seorang insan.

Tauhid seorang hamba dipengaruhi oleh akal dan rasa. Dengan akal manusia dapat menimbang, menganalisa, memahami, dan menentukan keputusan. Sementara rasa dapat membantu manusia untuk menghargai kesimbangan dan keharmonian. Manusia pun tak kan hanya menjadi penuntut kebenaran tapi juga pecinta kebenaran, keindahan, serta keadilan.

Sebagai seorang hamba, kita harus bisa menyukuri kedua nikmat di atas, dengan mengembangkan potensi dan memanfaatkan keduanya dengan maksimal. Sehingga mampu menjadi manusia yang berakal cerdas, sarat ilmu serta berwatak cinta akan kebenaran dan keadilan. Menjadikan iman dan ilmu sebagai sarana untuk bermanfaat dalam hidup. Meyakini bahwa segala sesuatu telah diatur sedemikian oleh sang Maha Pemilik Segalanya. Meyakini dan menghargai bahwa setiap manusia adalah merdeka dengan keistimewaannya masing-masing.

Dalam islam sendiri atheis atau orang yang tak bertuhan dikenal dengan istilah mulhid atau ilhad, yang artinya ‘menggali lobang atau terjerumus dalam lobang galian’. Jadi tak ada hubungannya dengan atheis secara harfiah. Ketiadaan definisi atheis dalam Al-Qur’an menjadi bukti bahwa paham atheis memang tidak patut dibenarkan karena tidak masuk akal. Keberadaan atheis sendiri seringkali karena manusia terlalu pintar dan berani sehingga tidak perlu percaya pada sesuatu yang tak bisa dibuktikan. Selain itu ada istilah agnostic yaitu mereka yang mempertuhankan akalnya, dan menolak agama.

Sementara Al-Qur’an sering menggunakan kata ilah dalam menyebut wujud yang dibesarkan atau dipentingkan oleh manusia sehingga manusia sering merelakan diri dikuasai olehnya untuk mengagungkannya, mengharap kegembiraan darinya, dan merupakan sesuatu yang ditakuti apabila mendatangkan kerugian.

Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa Al-Ilah adalah yang dapat dipuja dengan kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan diri di depannya, takut dan mengharapkannya, serta menjadi tempat berpasrah dalam kesulitan, bertawakal padanya, serta tenang saat mengingatnya. Sehingga secara definisi dapat dipahami bahwa tuhan bisa berbentuk apa saja, misal, nafsu, benda, zat, dan lainnya.

Islam mengenal istilah syirik dan musyrik, yaitu ketika manusia bertuhankan lebih dari satu. Syirik berarti mencampurkan hal-hal, dan orang yang syirik disebut musyrik. Metauhidkan Allah memang suatu jihad yang terbesar dalam hidup, karenanya hal ini sangat sulit. Banyak dijumpai mereka yang sudah rajin beribadah pun masih bersikap syirik terhadap suatu hal, biasanya dijumpai dalam bentuk rasa ketergantungan. Dosa syirik adalah dosa yang tidak terampuni.

Manusia dalam zamannya telah mengenal beberapa tuhan selain Allah, yang biasa disebut dengan tuhan-tuhan yang popular. Misalnya harta, tahta, dan wanita, yang sejatinya mampu merampas kebahagiaan dan kemerdekaan seorang manusia, menjadikannya budak dunia yang patuh dalam kesombongan. Sehingga seorang yang mentauhidkan Allah tidak akan mungkin membiarkan dirinya terjatuh dalam lingkatan tuhan-tuhan populis tadi dan membiarkan kemerdekannya terhisap olehnya.

Dengan bertuhankan kepada Dzat Yang Maha Memiliki Segalanya, maka manusia akan mendapatkan kemerdekaan sejati. Kemerdekaan yang akan tetap ada walau jiwa sudah diambil oleh Nya, karena kemerdekaan seseorang sebanding dengan nilai kemanusiaan yang dihayatinya. Sungguh mereka yang hingga mati tetap mempertahankan kemerdekaannya akan lebih dihargai Allah karena telah menjadi saksi akan kebenaran ajaran Allah SWT, yang mengutamakan nilai kemanusiaan dan kemerdekaan.

Sifat manusia itu cenderung mementingkan sesuatu, dan sebaik-baik kepentingan adalah kepentingan yang hanif (baik). Manusia memang cenderung mudah berpindah dari kepentingan satu ke yang lain, atau mudah bertuhankan satu ke tuhan yang lain. Misal saat lapar maka manusia akan lebih menuhankan makanan, ketika sakit orang akan menuhankan kesehatan.

Sehingga ketika manusia mengatakan ‘tidak ada tuhan’ maka berarti ‘tidak ada kebenaran’, sehingga semuanya adalah salah, jika semuanya salah, maka pernyataan tidak ada tuhan juga salah. Karenanya islam tidak mengenal istilah atheis. Sementara dalam islam, tuhan dikenal dengan menggunakan kata Allah, yang tidak memiliki jama’ dalam bahasa arab. Sehingga bersifat Maha Tunggal atau Esa. Sementara kata laa-illaha illa Allah sendiri mengandung makna ultimate declaration of independence, yaitu kemerdekaan yang paling tinggi. Karena tiada tuhan selain Allah, adalah deklarasi yang membebaskan setiap manusia dari segala bentuk perbudakan dan penjajahan termasuk oleh hawa nafsunya sehingga mampu menjadi manusia seutuhnya atau insan kamil. Selanjutnya adalah berikrar dengan dua syahadat, yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Kesaksian ini akan menjadi jembatan hati antara setiap muslim dengan Al Qur’an dalam ketauhidan.

Dalam sejarah manusia dikenal dengan dua tokoh yang bisa dijadikan teladan hidup, yaitu Ibrahim dan Muhammad. Ibrahim adalah seorang nabi yang mendapat julukan Bapak Kemerdekaan atau Bapak Kemanusiaan yang utama. Dengan ketauhidannya pada kaliamt Laa-illaha illa Allah, Nabi Ibrahim mampu bertahan dengan berbagai ujian hidup dari Yang Maha Kuasa, sehingga kelak dari keturunannya lahir sosok manusia yang mulia. Muhammad, manusia yang membawa misi luar biasa untuk mengantarkan umat manusia menuju cahaya zaman dan menjadi pembawa rahmat bagi kemanusiaan.

Mentauhidkan Allah berarti mengabdi hanya kepada Allah, Tuhan Pemilik Segala yang akan membebaskan kita dari rasa lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut. Mentauhidkan Allah adalah sebuah ikhtiar yang paling besar dalam hidup setiap insan, dengan mengucapkan Laa-ilaaha illa Allah, maka mereka adalah sosok yang memilik sikap mental kemanusiaan yang tinggi derajatnya, pribadi yang tak mengenal kata tunduk kecuali pada Allah semata. Mereka inilah yang paling berbahagia dalam hidup di dunia.

Resume Tauhid - Karya M. Imaduddin Abdulrahim (Resume) SSC 2019

Comments