Pernah kah kalian lupa? Atau
bahkan sering lupa? Hal apa yang sering kalian lupakan? Apakah itu hal
yang tidak mengenakkan? Atau justru hal-hal yang menyenangkan? Terlepas dari
apapun itu kau pasti pernah mengalami lupa. Pengalaman lupa yang paling kuingat
adalah saat lupa membayar UKT semester (SPP kuliah).
Entah ekspresi apa yang ada di depan tulisanku sekarang.
Mungkin kalian akan kaget, terdengang, tapi sebagian besar ekpresi yang
kuterima adalah ekspresi,
“Kok lu bego sih dib?”
“Bisa ya, lupa begituan!”
“Lupanya antimainstream-“
Dan banyak kekagetan setelah itu. Namun, seperti manusia
pada umumnya, tentu saja aku juga merasa sedih. Selintas mengekelebat di
kepalaku seluruh akibat dari kelupaanku. Satu hal yang kutakutkan adalah cuti
semester. Tak pernah kubayangkan. Semester enam adalah semester dimana hampir
segala kegiatan organisasi dan akademik mencapai puncaknya. Tak terkecuali kuliah
lapangan hingga magang.
Tepatnya sehari setelah batas penutupan UKT universitasku,
aku langsung ke salah satu bank terdekat. Ketika akan membayar petugas bank
memberitahukan padaku bahwa pembayaran tidak bisa dilakukan karena telah
diblokir oleh pihak universitas. Singkatnya, aku sudah melewati batas
pembayaran.
Sedetik kemudian aku sudah berada di bagian akademik dan
kemahasiswaan fakultasku. Dengan tergesa aku menghadap salah satu petugas
akademik dan disitulah aku mendapati bahwa hidup harus diperjuangkan. Satu hal
yang kusesali adalah kebiasaan menundaku yang menyebabkan semua ini, benar saja
aku yang bersalah atas semua ini. Dan kebodohanku itu salah satu yang tidak
bisa ditolerir oleh birokrasi negeri ini.
Alasan lupa adalah murni kesalahan mahasiswa, dan karenanya
mahasiswa tersebut diwajibkan untuk mengajukan cuti. Akhir dunia terasa di
depan mata. Jika itu cuti berarti, berhenti dari kuliah, berhenti dari asrama,
dan berhenti dari organisasi.
Setelah merasa tak berdaya, aku pun memutuskan untuk pulang.
Yah, sejenak, entah, atau selamanya ingin menghilang. Secepat motor dan mobil
saling membalap di jalan raya, secepat itu pula kedua wajah orang tuaku hadir
di depan mata, memenuhi isi kepala. Bagaimana ini? Aku bahkan merasa tidak
sanggup ketika harus menceritakan pada mereka semua keteledoran ini.
Sesampainya di asrama, aku pergi ke kamar dan menumpahkan
penyesalan atas kebiasaan bodohku. Menunda pekerjaan. Siang itu tepat pukul
dua. Asrama terasa sunyi karena tak banyak orang di sana.
Mungkin benar, kalau menangis menjadi salah satu cara untuk bersyukur
dan mengaduh pada Yang Maha Pemilik Segalanya. Seketika aku mencoba menelpon
ibu, memberitahukan keadaanku yang entah harus bagaimana. Dengan tenang ibu
memberi saran dan memimtaku bergerak cepat. Tentu saja, selalu begitu. Semua
ada konsekuensinya. Ya, semua ada konsekuensinya. Dan ini konsekuensiku.
To be continued…
plc : Ruang tunggu Direktorat Keuangan UGM
Comments
Post a Comment