‘Api Tauhid’: Membakar Jiwa Membangun Peradaban



“Selama kaum Muslim memiliki Al Qur’an, kita tidak akan bisa menundukkan mereka. Kita harus mengambilnya darimereka, menjauhkan mereka dari Al Qur’an, atau membuat mereka kehilangan rasa cinta kepada Al Qur’an”
PM Inggris – William Ewart Gladstone




Buku pembangun jiwa, penyegar haus akan ilmu dan ketaatan seorang hamba. Jika kau lelah dan merasa futur dalam berjuang, akan sangat disarankan menelaah kembali isi dari buku Api Tauhid.

Sesuai dengan judulnya, yang mampu memunculkan Api Tauhid yang niscaya tak kan padam, sekeras apapun mereka mencoba. Sosok yang digambarkan di dalamnya adalah salah satu keajaiban zaman, Badiuzzaman Said Nursi, seorang pemuda yang lahir dari rahim tanah Kurdistan, desa Nurs.

Ketika menginjak usia tujuh tahun, Said sudah menunjukkan minat pada pelakaran agama, hafal berbagai macam dzikir dan doa. Said muda berusia 15 tahun itu telah menguasai ilmu mereka yang berusia 40 tahun. Lebih dari 70 kitab telah ia hafal diusia mudanya, dan telah banyak berguru pada ulama-ulama di zamannya. Bahkan beberapa kali debat dengan para ulama pun, Said bisa melakukannya dengan sangat hebat dan sopan.

Seiring dengan dinamika khilafat Turki Ustmani, globalisasi dan sekulerisme tak bisa dihindari kaum muslim. Begitu pula Said Nursi.  Disinilah cahaya tauhid dipaksa untuk bergema dan menerangi dunia islam yang meredup bersama dengan temaramnya Al Qur’an dari hati umat muslim.

Madrasah menjadi sekolah tanpa sentuhan agama. Bahasa arab dilarang dipergunakan dalam bernarasi, termasuk panggilan solat setiap hari. Pemerintahan khalifah diganti paksa dengan kepartaian dan demokrasi. Lalu bagaimana dengan para pemuda? Apa yang bisa dilakukannya?

Kaum muda yang seharusnya bisa membela negera malah tercekoki oleh paham sekuler eropa. Ilmu yang didapatkannya dari negeri seberang tak lantas membuatnya semakin cinta dengan islam, malah semakin rela apabila syariat tak lagi menyentuh rakyat.

Lalu bagaimana dengan said muda? Kala itu ia bersama beberapa muridnya memperjuangkan Al-Qur’an melalui pendidikan. Said berusaha mendirikan madrasah lebih banyak, yaitu yang mengajarkan Al-Qur’an dan diringi ilmu modern. Said ingin memadukan sebuah konsep pendidikan dari mekteb yang unggul sebagai akal budi, medrese yang paling baik sebagai hati, dan zawiye yang paling suci sebagai nurani. Ia ingin menjadikan madrasah sebagai sebuah lembaga pendidikan yang melahirkan generasi multi-keahlian, yang kelak akan menjawab tantnagan umat di masa mendatanga. Namun tetap saja kaum tanzimat didukung oleh freemansory, lulusan eropa, tak membiarkan upayanya berjalan sesuai akal sehat.

Kebijakan terbaru pun diterapkan, sekulerisasi semakin menjadi-jadi. Syariat tak lagi hidup menjadi sumber kehidupan, Said pun mulai mencium aroma kekalahan umat oleh zaman. Umat muslim Turki Utsmani tak lagi bersatu padu melawan musuh-musuh yang menginginkan kepada islam kematian. Salah berjamaah tak lagi menjiwai ruh para insan.

Dalam suatu pidatonya, Said Nursi berkata.

Sejak zaman azali, kita telah masuk ke dalam perhimpunan umat Muhammad Saw. Tauhid merupakan aspek kesatuan dan persatuan di antara kita. Sumpah dan janji kita berupa iman.
Selama kita bertauhid dan bersatu, maka setiap mukmin harus menegakkan kalimat Alah. Saran terbesar untuk untuk menegakkan kalimat Allah di masa sekarang ini adalah kemajuan materiil.
Dengan ilmu pengetahuan dan tekonologi, kita akan berjuang melawan kebodohan, kemiskinan, dan perpecahan yang tak lain dan tak bukan adalah musuh utama dalam menegakkan kalimat Allah.
Berkali-kali saya tegaskan, bahwa tauhid ilahi merupakan aspek kesatuan dalam Ittihad-I Muhammedi, di mana ia merupakan hakekat  wahdah islamiyyah, persatuan islam.
Sedangkan sumpah baiatnya adalah iman.
Tempat berkumpulnya adalah masjid, madrasah, dan zawiyah.
Anggotanya seluruh kaum mukmin.
Sistem yang mengaturnya adalah sunnah Muhammad Saw, dan undang-undang syariat beserta semua perintah dan larangannya. Persatuan ini tidak berbasis tradisi, tetapi ibadah.
Tujuan persatuan ini adalah menggerakkan rantai zahaya yang menyatukan seluruh tempat ibadah Islam yang tersebat di aman-mana, membangunkan orang-orang yang tertaut dengannya, dan mendorong mereka menuju kemajuan melalui keinsafan diri.
Manhaj persatuan ini adalah cinta. Adapun musuhnya adalah kebodohan, kemiskinan, dan kemunafikan…

Cahaya tauhid sekali lagi bergema di daratan Turki Ustmani. Jutaan orang tersihir dengan pidato Said. Namun pemerintah tetaplah menutup mata. Perang dunia I pun berkecamuk, Said Nursi dengan tauhid dan nasionalismenya tak berdiam diri. Ia bersama murid-muridnya turut mempertahankan tanah Tukri Ustmani. Setelah perang pecah, banyak dari muridnya syahid, sementara Said harus meringkuk di penjara sebagai tahanan.

Di penjara selama 25 tahun dan berpindah-pindah bahkan melewati berkali-kali hukuman mati, cahaya tauhid Said tak pernah padam. Semakin menjadi terang. Menerangi di mana pun tempat dia meringkuk kedinginan, hingga diasingkan. Beberapa karya monumental menjadi bukti kilauan cahaya itu, salah satu yang terbesar adalah Risalah Nur.

Karya ini merupakan kecil perwujudan dari kemuliaan Al-Qur’an. Sudah tak terhitung berapa banyak eksemplar Risalah Nur yang tersebar dan tetap menerangi hati-hati orang muslim. Mereka terbangun lagi dan saling berempati tentang bagaimana seyogianya syariat harus kembali ditaati. Pemerintah dengan segenap kuasanya pun selalu menghalangi cahaya itu mencuat kembali.

Dalam suatu ayat, Allah berfirman siapapun yang mencoba memadamkan cahaya Al-Qur’an dan islam, niscaya tidak akan pernah bisa kecuali dengan siizin Nya.
Said yang selalu cinta perdamaian selalu menghindari pertumpahan darah.  Muncullah bentuk perjuangan jihad yang baru dalam dirinya. Said yang baru adalah karena kepentingan Al-Qur’an, maka ia menjauhi segala hal yang bersifat fana dan duniawi termasuk ekonomi, hingga politik sehingga keluarlah kalimatnya yang sangat terkenal.

“A’udzubillahi minasy syaithan was siyasah.”

Satu-satunya politik Said baru adalah dengan melawan segala bentuk usaha yang menjauhkan umat dari Al-Qur’an. Ia ingin mendekatkan kembali umat dengan Al-Qur’an baik secara kultural dengan menjadikan l-Qur’an sebagai cahaya yang menerangi pikiran, hati, jiwa, dan jasad umat.

Dalam pidato lainnya yang terkenal juga berpesan.

“Diantara yang paling penting yang telah aku pelajari dan aku dapatkan dari kehidupan social manusia sepanjang hidup adalah bahwa yang paling layak dimusuhi adalah cinta itu sendiri, dan yang paling layak dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri. Dengan kata lain, tabiat cinta yang menjadi jaminan tenteramnya kebahagiaan, itu lebih layak dicintai. Sebaliknya, tabiat permusuhan dan kebencian yang menjadi factor perusak tatanan social merupakan sifat paling buruk dan paling berbahaya. Ia paling layak untuk dihindari dan dijauhi…”
Faktor-faktor yang melahirkan cinta adalah keimanan, keislaman, dna kemanusiaan serta berbagai mata rantai nurani yang kokoh dan benteng maknawi yang tangguh…”

Perjuangan itu uterus berlanjut, dan penjara it uterus mengikut, hingga tahun 1940-an terjadi perpindahan kekuasaan pemerintah. Kaum demokrat yang dzalim tak lagi memegang tali kekuasaan. Said pun kembali dengan prinsip untuk mendukung pemerintahan agar pemerintah yang dzalim tidak lagi berkuasa. Begitulah syariat dan islam berdinamika sesuai zaman, tetapi selalu berpegang pada kemurnian tauhid dan iman.

Allahu Akbar.


Buku: Api Tauhid  'Cahaya Keagungan Cinta Sang Mujaddid'
Genre: Novel Sejarah
Penulis: Habiburrahman El Shirazy
Tebal: 588 hal
Penerbit: Republika

Comments