Leno, Pemburu, dan Aku.


Intro

 Hampir genap tiga minggu sudah, aku berjibaku tanpa partner setiaku. Leno, yah begitulah aku menyebutnya. Benda persegi panjang berwarna silver itu hadir dua tahun sudah menemani hari-hariku. Mulai dari mode on serius hingga mode on menye-menye, dari ngerjain tugas deadline kuliah, hingga marathon drama. Aku masih ingat bagaimana bapak dulu menghadiahi aku si Leno. Sangat ringan dan modis. Tentu saja, aku tak menyangka bisa mendapatkan pengganti si Jack. Itu laptopku yang satunya. Adikku menggunakannya entah untuk apa, hingga ia harus dirawat inap beberapa hari di tempat service. Ada-ada saja makhluk satu itu.

Bapak berpesan untuk menjaganya hingga aku lulus. Namun, ditengah perjalanannya, Leno sakit. Ia sudah mencapai batas waktunya. Beberapa kali waktu untuk hidup dan mati menjadi semakin panjang. Entahlah, aku pikir dia benar-benar kelelahan.

Sekali lagi, ia pun harus dirawat inap. Sekali lagi, aku ditinggalkan oleh salah satu partner terbaikku. Leno, semoga kau kuat di sana. Ingat selalu tugas dan proposal yang kita berjanji akan menyelesaikannya.

Main

Satu dua hal pasti akan selalu ada hikmah dan pelajaran bagi mereka yang mau berpikir dan merenung. Bahkan gugurnya sehelai dauh di seberang perpustakaan bukan dengan sembarangan, selalu ada tangan-tangan yang siap mendekap cerita dibalik gugurnya dahan cokelat berwarna.

Mungkin bukan sebuah cerita yang besar, apalagi mewah mengesankan. Ini hanya sebuah cerita biasa, bak menggarami laut kehidupan. Aku hanyalah sebuih dahaga yang mudah hilang ditelan masa ombak fana. Bagaimana menjadi sosok yang sebenarnya hidup kala mimpi itu terus mati tertelungkup. Bagaimana berani menginjak tanah basah saat menapaki perih kaki gunung sang kawah. Oke, mungkin ini sedikit berlebihan. Tentu saja, cerita selanjutnya tak kan lebih asin dari sbutir garam ditengah samudera. Lihat saja!

Main 2

 Aku masih teringat bagaimana kehidupan yang selalu memanjakan dan seolah mudah akhir-akhir ini. Organisasi yang tak kunjung berhenti malah menjadi ajang refreshing sendiri ditengah kepenatan akademik dan deadline proposal resmi. Tentu saja, hal ini menjadikanku tenang dan cenderung menyepelekan hari esok. Tambah lagi asrama yang kebetulan selo agenda karena kedatangan sosok istimewa di bulan puasa. Sungguh keseloan yang tak terkira.

Setiap malam kadang lupa untuk bangun dan menyapa Sang Kuasa. Terlelap dalam keegoisan dunia beserta antek-anteknya. Bahkan ibadah pun kadang nglantur dalam tidur dan malah bikin nambah kufur. Hingaa sesaat setelah kuputuskan untuk memohon pada Tuhan, agar dimantabkan kembali ruh dan qalbu untuk bisa menjalin lagi ukhuwah dengan Nya.

Tak lama, baru sadar, ternyata doa saya diijabah juga ya. Sosok partner kali ketigaku lagi-lagi selangkah demi selangkah mengundurkan diri. Kelelahan, bisa jadi. Tapi, Oh Tuha, kenapa harus diminggu-minggu hectic tugas dan kewajiban mahasiswa. Menjelalang liburan, eh ujian, para dosen sibuk memaneh nilai dari banyaknya makalan, poster, dan presentasi mahasiswa. Beberapa sempat selesai sebelum waktunya. Walapu lebih banyak yang tinggal hingga mepet waktu pengumpulan.

Menjadi deadline, bukan pilihanku, apalagi keahlianku. Menjadi dealine, lebih karena tuntutan kesenangan dan ego untuk menunda yang tak bisa kubatasi sejak dulu. Jadilah, tugas yang awalnya manusiawi menjadi beban berat tak berhati. Ditambah kewajiban organisasi tak lelah mengetuk waktu tidur, memaksa bangun dan menjadi zombie rutinitas tanpa ampun.

Main 3

Aku masih belum sadar, bahwa ternyata Tuhan sedang merencana zona nyamanku agar tak sesempit dulu. Yah setidaknya, aku berprasangka begitu. Hikmah tak pernah sesempit itu. Sang waktu terus berjalan bak angin yang bergerak tanpa hembusan. Tugas demi tugas terkumpulkan, di tangan prajurit tanpa pedang. Lama prajurit itu tak latihan menebas lawan. Namun kini lebih berat, ia harus menebas angan. Untuk ia bersantai dan menghindari sang ramai. Sesekali berkutat dengan pinjaman anak panah tetangga sebelah rumah untuk menembak mangsa di waktu gelap dengan sumpah serapah.

Tuhan bersikukuh ingin menguji, bilamana batas raga ini akan berhenti. Atau malah menembus tepi dan melangkahi diri. Lalu apa intinya? 

Ini adalah sebuah cerita yang belum resmi dari akhir jalan yang seorang mahasiswa biasa. Mencoba menjajaki batas dengan makna. Bahwa selama dengan Tuhan, maka semua akan baik-baik saja. Akhirnya, sembari merenung dalam sunyi malam, ia diam-diam pergi melintah sawah, kembali meminjam anak panah. Kali ini ia memberanikan diri untuk menyewa dengan sisa hartanya. Ia berkata, aku akan kembali dengan sebuah karya! 

Sudah, lalu ia pergi. Mengganti pedang dengan panah, bukan berarti harus mengulangi latihan menembak mangsa. Ia tahu bahwa sejatinya pemburu akan mampu mengayunkan banyak senjata, karena hidup tak pernah berjanji cukup dan selalu ada. 

Sekian.


Perpusat, Lt.2. Anak panah lain.

Comments