Catatan Perjalanan Wonosobo.
“Wono means forest, sobo means visit. Wonosobo means cold”
When Trip Comes
30
September 2019
Siang hari itu gua inget, pas baru habis silaturahih dari
kamar satu asrama. Novi ngajak buat nemeni kamila pulang ke rumah. Yup,
rumahnya di Wonosobo. Sekilas gua dah prnah denger sih kalau di sana itu banyak
tempat wisatanya. Bisa wisata alam atau pun wisata sejarah. Wonosobo merupakan
kabupaten yang terletak di Jawa Tengah dan dibatasi oleh Kabupaten Temanggung
dan Kabupaten Magelang di sebelah tmur. Kabupaten Purworejo di selatan,
Kabupaten Kebumen dan Kebupaten Banjarnegara di barat, Kabupaten Batang dan
Kendal di utara. (Percayalah kalau lo liat Wikipedia bakal lebih komplit lagi,
apalagi google-maps).
Sekilas tentang Wonosobo, ada salah satu alumni asrama gua, Angkatan
tujuh lulusan UGM yang kebetulan berasal dari kabupaten yang sama. Yup, Namanya
Mas Retas. Kebetulah beliau baru saja mengisi kajian di asrama tema 20 Lyfe
Crisis. Buat ringkasan materinya bisa diakses di link bawah artikel ini yak 😊
Batu Pandang dan Srikandi
Minggu kemarin kan gua habis trip juga sekalian pulang ke
Solo. Sebenarnya awalnya agak ragu sih, karen jarak Wonosobo-Jogja hamper dua
kali jarak Jogja-Solo. Sekitar 3 hingga 4 jam perjalanan dengan kendaraan
motor. Lagi pula pas itu kebetulan lampu depan motor gua mati jadi semakin ragu
buat ikut jalan. Hingga akhirnya…
5
Oktober 2019
Setelah menyelesaikan editan video KKN 6 jam di kamar,
tiba-tiba Novi telpon gua. Dia tanya jadi aau engga ikut ke Wonosobo.
Sebenarnya ini project kamar satu alias project kamar buat Novi, Kamila, dan
Elisa. Tapi berhubung Elisa belum bisa ikut jadi mereka cuma berdua. Nah, kalau
Cuma berdua trip sejauh lebih dari 150 km sih bakal kerasa capek banget.
Mending bareng-bareng.
Gerdu Pandang (No lamps)
Setelah memperbaiki lampu depan motor, yang gua kira bakal 1
jam ana ternyata gak ada 5 menit, cus langsung kita bertiga siap-siap buat mengantar
Kamila pulang ke Wonosobo. Kira-kira jam 14.00 kita berangkat dari asrama
menuju Wonosobo. Kebetulan pas itu gua di depan sama Kamila yang pegang google
maps, maklum belum pernah trip sejauh itu sendirian.
Kita lewat Magelang, Mertoyudan, dan Temanggung, lalu
Wonosobo. Novi yang sendirian motoran di belakang. Sementara ngikutin G-maps,
Mila (Kamila) banyak cerita gimana kerennya tempat dia tinggal. Tepatnya di
daerah Tieng, dan buat ke Dieng cma berjarak 20 menit dengan motor. Mila juga
bilang kalau Wonosobo terkenal dengan kuliner mie ongklok nya. Yang paling
terkenal dan lama ada di daerah Longkrak tengah kota. Awalnya kami berencana
untuk lewat tengah kota, tapi beruntungnya saat itu google mengarahkan
perjalanan melewati Weleri.
Gerdu Pandang Lagi
Jadi dari arah Temanggung untuk keTieng bisa lewat tengah kabupaten
Wonosobo dan bisa lewat Weleri. Kenapa beruntung? Karena ternyata view pemandangan
Weleri sangat tidak bisa dilewatkan ketika sore hari terutama. Kebetula saat kabut
turun, suasana menjadi semakin sendu dan dingin. Suhu berubah cukup signifikan,
seketika aku bisa merasakan kaca helm ku mulai mengembun karena kabut.
Perjanalan melewati Weleri kami menjumpai banyak basecamp
untuk naik gunung. Ternyata banyak orang yang ingin menikmati pemandangan di
Wonosobo.
Mila yang duduk di bekalangku, beberapa kali mencoba
menangkap cerita perjalanan dengan kamera handphone. Kalian bisa melihat susunan
memeori perjalanan kami dilink di bawah artikel ini juga.
Sesekali kita bertemu penduduk asli hutan, monyet, yang denan
santai duduk di pinggir jalan. Seolah menanti kami untuk kemudian mereka
segerombolan menyeberang kembali ke hutan. Sebalah kiri sawah dan ladang sebelah
kanan kami hutan tropis. Depan kami disambut kabut, dan di peluk dinginnya
udara 19 derajat celcius. Rasa lelah seketika terselimuti keanggunan
pemandangan sepanjang jalan.
Bukan sekedar kata,
oleh The Overtunes, sejenak terputar jelas dan keras di kepalaku. (Oke, ini random, but dats what happened)
Sesampainya kita menuju arah Dieng, waktu menunjukkan pukul
17.00. Sudah hamper lebih dari 3 jam perjalanan motor kami hampir tiba. Setiba
di rumah Mila, kami disambut oleh keluarga Mila. View dari luar rumah Mila sudah
mirip seperti di canvas lukisan yang sering kulihat. Tapi yang ini versi
real/nyata. Mila beruntung bisa tinggal dan menikmatinya setiap hari. Tentu
saja, suhu dia atas jauh lebih dingin dibandingkan perjalanan. Sekitar 17
derajat celcius.
Waktu maghrib pun terdengar. Saatnya menunaikan kewajiban
pada pemilik pemandangan yang sedari tadi kami kagumi. Sempat terpikir untuk tayamum
saja, karena air di sana tak kalah dingin dengan air es yang biasa kita pesan saat
akan makan soto pak jamal.
Selapas solat isya, Mila mengajak aku dan novi menikmati
malam Tieng di Gerdu Pandang. Sepuluh menit ke atas dari rumah Mila. Seperti
bangunan gazebo tapi lebih besar dan berada di pinggir tebing persawahan. Dari
sana kita bisa menikmati bintang malam yang masih segar dan jernih. Kalau kata
Mila sih, belum terkena polusi cahaya seperti di Jogja.
Kebetulah saat itu ibu Mila ikut menemani perjalanan singkat
kami. Dari arah gazebo, kita bisa melihat lading dan sawah agrokomplek. Diujung lading ada seuah batu besat dan
beberapa pohon rindang. Mila bercerita jika saat kecil dia sering bermain di
sana Bersama teman-temannya hingga naik ke atas batu. Terakhir saat SMP. Lalu
dia menawarkan untuk berjalan dari gazebo bawah menuju arah batu. Aku menerima.
Persis seperti di daerah Bukit bintang Jogja. Hanya saja
kita kau bisa melihat tak hanya bintang di bawah tapi juga di atap langit.
Mereka sama adanya. Mataku menyusuri setiap jalan yang kita lewati selama ke
sini. Beberapa terlihat seperti miniature kota kecil. Cukup mudah mengenali
setiap gang, gapura, dan rumah penduduk yang berjajar rapi di bawah. Mila
mencoba mengabadikan momen dengan camera. Walau ia tahu lensa kamera tak kan pernah
mengalahkan cantiknya lensa mata. Beberapa kali ia mencoba, namun tetap saja,
kebanyakan bayangan hitam yang tergambar.
Mila mangajakku menyusuri ladang menuju batu yang sering ia
ceritakan. Kami hanya berbekal senter hape dan segelas botol minum berjalan ke
bawah. Novi memiih untuk menemani ibu mila di gazebo atas. Dengan cepat Mila
menunjukkan jalan dan aku mengikutinya dari belakang. 80 meter dari tempat gazebo
kami sudah berada di atas batu dan bisa melihat rapinya lading dan desa Tieng
dari ketinggian. Benar-benar menakjubkan.
Selepas mengambil beberapa gambar, kami pun kembali menuju
gazebo. Lalu menuju rumah untuk berisitirahat. Walau jam masih menunjukkan
pukul setengah Sembilan malam, tapi besok rencananya kami akan memulai perjalanan ke atas jam 3 pagi.
Menyambut Sunrise, Mengejar Matahari!
Sikunir Bukit 05.30
link :
Knowledge Sharing 20 Lyfe Crisis
https://www.instagram.com/p/B3Ei42OlIMg/?igshid=1vxhn4gv64zty
Comments
Post a Comment