Ada banyak hal menarik yang bisa kita dapatkan dari novel berjudul ‘Selamat Tinggal’. Tak terdengar seperti judulnya, isi ceritanya kuat dan tegas. Tidak menyiratkan kesedihan, namun keinginan kuat untuk berubah dan move on.
Cerita diawali dengan kehidupan Sintong, mahasiswa sastra abadi yang sudah hampir 7 tahun berkuliah. Kebetulan Sintong juga bekerja menjadi penjaga toko kelontong buku bajakan bernama "Berkah". Entah apa yang mengilhami penamaan berkah, padahal bagaimanapun penjualan buku bajakan tidak ada berkah-berkahnya.
Sebagai penjaga toko, Sintong pastinya juga sudah membaca banyak buku. Tahun pertama dan keduanya pun sempat menjadi puncak karirnya. Sempat Sintong menjadi pimred GM (ekstrakurikuler kampus jurnalistik kampus) dan tulisannya yang berani sering dimuat di koran-koran nasional. Tak ayal keluarga Pakliknya yang mengelola bisnis buku bajakan turut bangga dengan keponakannya. Kebetulan keluarga Paklik Maman dan Bulik Ningrum inilah yang menjadi support system dalam membantu biaya perkuliahan, SPP, hingga harian Sintong selama di kampus.
Sederhananya, novel ini menerangkan perjalanan Sintong Tinggal, pemuda Sumatra, yang sedang mencari jati diri dan arti kehidupan. Dalam perjalanannya mengerjakan skripsi ditahun ke-7 ini Sintong mendapat banyak kemudahan dari pihak fakultas. Dekan yang mengenal Sintong sebagai anak yang cerdas tentu ingin segera pemuda ini melakukan riset tugas akhirnya agar cepat lulus dari kampus.
Beruntungnya Sintong terlahir dengan bakat seorang jurnalis. Tulisannya selalu memukau siapapun yang membacanya.
Penemuan sebuah buku lama karya Sutan Pane, seorang penulis hebat yang hilang ditelan zaman, menjadi awal mula perjalanannya. Pertemuannya dengan Jess, si gadis fakultas ekonomi yang cantik pun, menjadi awal baru bagi berseminya hati Sintong dari luka lama dengan teman SMA nya. Mawar Terang Bintang.
Kisah berlanjut dengan usaha Sintong untuk melakukan riset tugas akhirnya. Mempertemukannya dengan banyak alur dan fakta tentang Sutan Pane. Bagaimana penulis yang berani dan tak memihak itu tetap teguh dalam mengatakan apa yang seharusnya dikatakan kepada pemerintah di zamannya.
Penulis yang memang sangat mencintai negeri ini lewat tulisannya. Penulis yang tak akan memihak kanan, kiri, ataupun hitam putih. Bila itu benar maka dikatakan benar, dan begitu pula sebaliknya.
Penulis yang tetap menulis meski separuh jiwanya pergi, saat kematian istri Sutan Pane di tahun 1949 akibat cacar air. Penulis yang tetap berkarya walau banyak pihak yang membencinya, karena dikritik. Sulit sekali, sungguh sulit menemukan keikhlasan seperti itu di zaman sekarang.
Satu pertanyaan besar dalam naskah yang ditulis Sintong, mengapa Sutan Pane tiba-tiba berhenti menulis setelah kejadian 1965. Apakah ia dibungkam?
Rentetan alur menarik dan menggoyahkan idealisme seorang mahasiswa sastra nyaris abadi. Tentang bagaimana besarnya industri ilegal berbahaya yang sudah merenggut semangat menulisnya selama hampir 4 tahun. Toko buku bajakan itu tak hanya ada satu dua toko, tapi ratusan jumlahnya. Tak hanya offline, tapi mulai merambah online.
Industri ilegal yang dikenal tak hanya pada buku, tapi juga, aksesoris wanita, hingga kebutuhan medis seperti obat. Tak bisa dipungkiri bahwa industri mereka sudah mengglobal, meraup banyak keuntungan, lantas meninggalkan segala efek samping dan kerugian dari penikmat industri ilegal itu.
Rasanya mirip seperti lingkaran yang mengerikan, jika sekali terjun ke sana maka sulit untuk keluar. Hal itu juga yang dirasakan Sintong beserta dua kenalan barunya di kampus, Jess dan Bunga. Dibalik senyum ramah dan cerianya mereka, ada rahasia kecil yang tersimpan.
Buku ini menjadi penutup akhir tahun dari daftar mimpi yang pernah dirajut lalu terhenti. Tentang bagaimana kita mengucapkan ‘Selamat Tinggal’ pada hal-hal buruk, bisa itu kebiasaan, pekerjaan, atau karakter buruk lainnya.
Saat yang benar harus dikatakan benar, dan salah harus dikatakan salah. Maka yang terbaik adalah mengucapkan 'Selamat Tinggal' pada kebodohan dan ketidakpedulian. Karena sejatinya, kita tahu persis apakah kita memang benar-benar bahagia, baik, dan jujur dengan diri. Ucapkan 'Selamat Tinggal' kepalsuan hidup. (Tere Liye)
Comments
Post a Comment