Ini review buku ke-2 ku tahun 2021 ini. Semoga ke depannya bisa istiqomah membaca dan menulis, semoga tahun depan ada partner yang bisa diajak diskusi. Mengembangkan budaya cendekia kalau sendiri memang berat.
Setidaknya aku masih ingat bagaimana Bapak dan Ibu sedikit kaget ketika aku membeli buku ini, Menikahlah Sebelum 30 Tahun karya Ahmad Rifa’I Rifan. Mungkin karena aku terbiasa membaca buku novel dan sejenis konspirasi, paling banter juga beli buku tentang makanan. Namun buku ini, sangat jauh dari genreku. Ah tidak apa, selama itu ilmu dan berkah untuk ke depan, walau belum membutuhkannya sekarang setidaknya kita sudah menyiapkan bekal.
Setelah membacanya mungkin aku akan membutuhkannya ke depan. Bahasan seperti ini sangatlah berat dan masih tabu di antara teman-temanku yang suka haha hihi. Kami masih berpikir seperti anak usia 17 tahun yang hanya tahu ke mana habis ini, mau pergi ke mana habis ini, atau mau maen ke mana?
Setelah membaca buku ini setidaknya aku bisa menerima lebih jelas usia diriku yang sudah menginjak 23 tahun ini. Ibu menikah di usia 22 tahun dan bapak 32. Yah memang selisih yang tak lazim, tapi mereka bahagia dan selalu tersenyum setiap hari. Terlepas dari itu aku sangat beruntung dilahirkan di keluarga kecil ini.
Lagu kali ini adalah Frapucino dari J-Walk.
Buku ini menyajikan bahasan yang sederhana, menarik, solutif dan menampar untuk para jomblo yang nekat membelinya. Sama sepertiku. Beberapa orang mungkin semangat untuk membacanya tapi aku tidak terlalu. Walau masih kuhabiskan dalam waktu seminggu sih.
Mungkin karena aku masih belum memiliki penghasilan tetap sekarang sehingga belum berani jika melangkah ke jenjang selanjutnya. Bagaimana siap? Setelah kemarin hampir kebablasan solat isya. Hmm.
Buku ini sejujurnya sangatlah bagus. Aku hanya belum menemukan waktu yang tepat untuk membacanya. Satu hal yang kuingat adalah, bila seseorang yang mengajakmu serius mampu membawamu lebih dekat pada Nya, maka peganglah erat. Yah kurang lebih begitu. Beberapa orang yang mempermasalahkan nikah muda mungkin karena mereka belum tahu bagaimana impactful dan berkahnya orang yang menikah. Secara psikologis kita tak akan memikirkan diri sendiri.
Minimal ketika kamu masak mie instant kamu akan memasaknya dua bungkus dan dua telor. Jadi sebenarnya agak tidak masuk akan film ‘My lecture My husband’ yang kutonton di WETV. Sedikit mengecewakan dari sisi leads karakternya. Terutama prilly, maafkan ini sedikit saran, mungkin mereka bisa memasukkan aspek psikologis yang lebih tepat pada seorang wanita ketika sudah menjadi istri seorang pria dewasa.
Yah setidaknya ia harus sadar bahwa ia seorang istri dan tidak seenaknya seperti itu. Yang kusedihkan di sini adalah sikap respect nya terhadap keluarganya yang sudah susah susah mengcasting reza rahardian sebagai calon suaminya.
Oke lanjut ke bahasan buku.
Setelah membaca buku ini aku menjadi berpikiran ‘sedikit’ terbuka mengenai menikah muda. Setelah beberapa temanku sendiri melakukannya. Kakak tingkat idola temanku di farmasi juga menikah di semester ke-3 dan baru diketahui setelah 6 bulan akad, saat istrinya hamil. Astaga ini keren sih. Mirip di sinetron, entah negara mana.
Temanku di peternakan dengan kating pertanian yang sekarang sudah memiliki satu momongan dan setiap saat selalu memposting apapun di sosial media mereka. Juga temannya temanku isispol yang sudah hampir memiliki momongan sekarang. Jujur saja, melihat mereka bukannya ingin malah membuatku semakin takut. Karena mungkin aku belum selesai dengan diri sendiri.
Mungkin benar memang penghasilan bukan segalanya, tapi aku wanita ang cukup tahu harga bumbu dan telor setiap harinya. Walau juga bermain di kurva fluktuasi dunia investasi, tapi menggoreng telor dadar juga butuh minya dan panci. Ada quote menarik di drama ‘It’s okay It’s love’ : Wanita yang lemah adalah wanita yang menggantungkan penghasilan dan mentalnya pada pasangan.
Aku sepenuhnya setuju dengan ini. Dan sekarang aku ingin melanjutkan menonton drama Jo In Sung. Terima kasih wassalamualaikum.
Comments
Post a Comment