Bagaimana Aku Dibesarkan, Part 1

Prolog

Hai sebelum melanjutkan membaca ada baiknya kau membuka playlist Olski-Terang.

Mungkin bagi kamu yang sering mendengarkan indie, kau pasti tahu jika tulisan ini bertemakan Ibu. Yah, salah satu malaikat yang dikirimkan Tuhan itu sudah beranjak tua. Waktuku dan waktunya tidaklah sama. Itulah mengapa aku selalu ingin lebih mengahabiskan waktu dengannya.

Kau tahu, sesuatu yang baru aku sadari diusiaku yang hampir 23 ini, adalah bahwa perasaan membutuhkan pemahaman, pemahaman membutuhkan proses, dan proses itu bercerita dengan waktu juga berjabat erat dengan sabar.

Hafalan Pertama

Semua dimulai ketika usiaku baru 5 tahun, usia dimana aku sudah bisa membaca dan mengingat beberapa detail kisah hidupku sendiri. Aku tumbuh dan besar di dua keluarga yang sangat berbeda. Beda adat dan budaya. Ibuku asli Maluku dan bapak asli mojokerto. Walau kedua budaya ini terkenal dengan keras dan tegas, tapi aku besar di Solo. Budaya jawa sangat halus di sana. Tak jarang itu membentuk gaya bicaraku.

Kuliah adalah waktu pertamaku untuk jauh dari rumah. Sebenarnya tak jauh juga, wong cuma di Jogja. Kampus bapakku dulu menuntut ilmu. Disana aku menemukan berbagai manusia dengan latar belakang berbeda. Satu hal yang kupahami adalah, mereka yang pondasi pendidikan agamanya kuat akan cenderung lebih though secara pemikiran dan perilaku. Mungkin hal ini juga karena aku lebih banyak melibatkan diri dengan organisasi dan komunitas berbasis agama di kampus.

Walau pun terbilang tidak banyak yang kujumpai, pengalaman kuliah cukup membuatku yakin bahwa pondasi dan pemahaman agama adalah yang yang krusial dalam hidup, bahkah hingga setelah kehidupan. Silahkan jika ada yang tidak setuju, karena ku yakin hanya itulah tiket menuju ke Surga Nya. Kau tak percaya surge? Ah sudahlah, itu urusanmu. Dan aku akan tetap menghargainya. Haha.

Ada muncul rasa iri pada kehidupanku. Tentu aku harusnya lebih iri dengan para sahabat Rasulullah yang bisa hidup di zamannya, bertemu dengan islam. Atau harusnya aku iri dengan mereka yang lahir di zaman 40 tahun sebelum hari kiamat tiba. Tepatnya setelah islam memenangkan perang dengan dajjal, saat Nabi Isa turun ke bumi. Atau aku harusnya iri dengan kedua adikku yang tidak perlu merasakan sulitnya menahan hawa nafsu dunia, karena mereka memang sudah ditakdirkan tidak di dunia sejak awal.

Yah, kita tak bisa memilih dilahirkan dari siapa, atau di zaman apa. Yang bisa kita lakukan adalah bersyukur dan berusaha terbaik. Apapun itu, aku percaya Allah Maha Penyayang dan Pemberi Hidayah kepada hambaNya yang berusaha. Mungkin itu yang berusaha ibu tanamkan ke aku sejak kecil.

Kembali lagi saat usiaku 5 tahun, aku masih ingat satu hal yang kuhafal pertama dalam hidup sebelum nomor telepon bapak adalah bacaan sholat. Aku yang saat itu baru bisa mengeja bacaan latin (bukan arab) terbata-bata melafalkan bacaan solat setiap saat. Solatku baru maghrib dan isya seingatku saat itu, dan ditambah ashar setiap 3 kali seminggu jika aku ikut TPA di masjid sebelah.

Ibu menulis di papan putih bacaan dan gerakan solat 3-4 rakaat dan meletakkannya di depan lemari. Papan tulis itu tak digantungkan, ia menyandarkannya pada lemari. Agar aku bisa membaca ketika solat. Ya aku membaca ketika solat, bahkan saat sujud di mana harusnya meletakkan kepala di tanah, aku yang masih belum hafal setengah mendongakkan kepala melihat tulisan apa yang harus dibaca. Tak lama, seminggu kemudian aku sudah bisa mengingatnya dalam kepalaku, dan ibu sudah menyingkirkan papan tulis itu.

Aku tak tahu ibu belajar dari mana cara mengajarkan anak bacaan solat pada anak usia 5 tahun seperti itu, yang pasti itu sangat berfungsi padaku.

Stubborn Kids.

Kira-kira itulah first impression almarhum buyutku di Ambon ketika pertama kali melihat cucunya ini lahir ke dunia. “Anak ini keras,” kurang lebih begitu katanya. Dan benar saja, aku sangat keras. Keras kepala. Karakter yang bahkan membuat dua malaikatku kewalahan mengatasinya di awal pernikahan mereka. Cobaan oh cobaan.

Bapak memberi namaku Aisyah Amanto, dan rupanya bapak juga keras kepala memberiku nama itu. Walau sudah diberi warning buyut agar tak memberiku nama yang terlalu berat karena akan semakin keras kepala. Setiap nama punya beban tersendiri ternyata.

Diusiaku yang ke-6 bapak mulai mempercayai first impression buyutku. Namaku diganti : Adibah Rasikhah Amanto. Ibu yang memberiku nama. Di pagi itu, ibu bilang “Mbak, kamu ganti nama Adibah ya,” udah gitu aja. Dan anak enam tahun yang belum tahu sulitnya mencari makan akhirnya nurut saja. Toh ibu menyiapkan syukuran kecil-kecilan dengan dua box kue meses juga keju kesukaanku di sore hari. Beberapa temanku di kompleks jaten datang dan mulai memakan kue bersama-sama. Walaupun esoknya mereka masih memanggilku “Sasa,”. Yah itu nama panggilanku saat masih menjadi Aisyah.

Comments