Selain memiliki kawasan yang
strategis sebagai lalu lintas perdagangan, Indonesia juga berada di jalur
strategis terjadi bencana, tepatnya di sebuah kawasan yang disebut Ring of
Fire. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) mencatat bahwa, kejadian
bencana alam membawa kerugian negara hingga sebesar 22 triliun. Tak hanya
darisegi infrastruktur tapi juga dari segi pangan dan kesehatan. Lebih dari 35%
krisis makanan disebabkan oleh bencana yang berisiko menimbulkan konflik
populasi.
Hal ini tentu saja memperburuk
kondisi kerenatanan kesehatan dan gizi yang mungkin terjadi. Sehingga
diperlukan penanganan dini khusunya dalam asesmen cepat untuk menilai level
kerentanan kesehatan, sehingga bisa diambil tindakan secara preventif maupun
pasca bencana. Mengingat kejadian bencana mampu meningkatkan kejadian
malnutrisi terutama terhadap sekelompok orang berisiko seperti ibu hamil dan
menyusui, balita dan anak-anak, serta lansia.
Pasca bencana membawa pada tingkat
kerentanan kesehatan dan kesejahteraan yang rendah. Misalnya, ketidakoptimalan
pemberian ASI pada balita dibawah 6 bulan saat pasca bencana mampu mengganggu
tumbuh kembang anak dan telah menyumbang angka kematian sebesar 44 juta setiap
tahun. Pada pasca bencana, ibu hamil dan menyusui berisiko kekurangan folat dan
beberapa zat gizi lainnya, hal ini tentu menyumbang risiko besar pada BBLR.
Sementara lansia juga mampu terancam terjangkit penyakit menular seperti HIV,
TB, dan lainnya.
Secara preventif penanganan
dilakukan dengan memastikan akses makanan dan kesehatan terjangkau dan telah
terstandar pada setiap tempat dengan risiko bencana. Memaksimalkan manejemen
berbasis komunitas untuk penanganan malnutrisi akut dan melakukan suplementasi
pada kasus defisiensi malnutrisi untuk mengurangi risiko adanya stunting
terutama pada pra bencana. Merencanakan kesiapsiagaan darurat adalah hal vital
yang perlu diminimalisir dampaknya dengan meminimalkan kerentanan gizi pada
anak-anak dengan meningkatkan asupan dan dengan pelatihan untuk keadaan
darurat.
Penanganan kebencanaan di
Indonesia hanya dilakukan berdasarkan indeks kerentanan (vulnerability index)
secara geografis . Indeks tersebut biasanya disajikan dalam bentuk peta
kebencanaan (vulnerability map) yang yang tersaji dalam model daerah rawan
bencana. Pengadaan peta tersebut membantu pemerintah dalam melakukan mitigasi
bencana terfokus pada infrastruktur saja. Hal ini tentu kesempatan baik bagi
dunia kesehatan untuk memuat peta kerentanan yang sama sebagai upaya preventif
mengurangi kasus malnutrisi dan kesehatan lainnya terutama pada daerah rawan
bencana.
HANFORD atau Health and Nutrition
Vulnerability Map for Disaster Risk Reduction in Indonesia merupakan salah satu
jenis program berbasis website yang menyajikan kompilasi data presisi berkenaan
dengan faktor risiko kesehatan dan gizi pada tempat-tempat yang berisiko
terjadi bencana alam atau kejadian katastropik lain sehingga meningkatkan angka
malnutrisi, meningkatkan prevalensi penyakit menular, serta menurunnya faktor
kesehatan masyarakat.
Peta ini bisa dibuat dengan
program GIS (Geographic information system) dan peralatan survei lapangan
digital. Selain itu, peta dapat diintegrasikan dengan faktor risiko khusunya
lainnya baik area ataupun objek yang terdampak. Peta ini diharapkan mampu
menigkatkan komunikasi terkait risiko apa saja yang mampu mengancam kesehatan
masyarakat melalui data visual yang presisi bagi para pengambil kebijakan.
Sehingga mampu dilakukan upaya peventif untuk melindungi sumber daya dan manusia
di area tersebut.
Tidak hanya preventif, tetapi
juga sejak fase mitigasi, persiapan, operasi, hingga fase rehabilitasi kembali,
khususnya pada bidang kesehatan. Hanford difokuskan pada fase preventif untuk
mengantisipasi dan menghindari zona berisiko dalam peningkatan usaha mitigas
kesehatan akibat bencana alam.
Peta ini dibuat oleh para pakar
di bidangnya untuk mengklasifikasikan jenis dan tipe bahaya (hazards) serta bencana yang mungkin
terjadi pada sebuah prototype sederhana berbasis web yang bisa diakses oleh
semua orang. Sementara pada fase pasca bencana, Hanford dapat menyediakan
informasi mengenai kondisi geologi lapangan melalui satelit imagery sehingga
bisa dilakukan persiapan untuk proses evakuasi dan memberikan pertimbangan
efektivitas tahapan rehabilitasi area terdampak secara infrasturktur dan
tentunya membantu memulihkan kondisi kesehatan para korban.
Beberapa faktor dibawah ini akan
tersedia dalam proses penentuan tingkat kerentanan dari sebuah lokasi atau
area, yaitu jumlah populasi antara 15 hingga 65 tahun, rasio kematian balita,
rasio kematin ibu hamil (maternal mortality ratio), prevalensi penyebaran
penyakit menular seperti tuberculosis (TB) dan diare. Dibutuhkan juga
prevalensi penyakit tidak menular (non-communicable disease) seperti jantung
koroner, stroke, sindrom metabolisme obesitas dan hipertensi, serta diabetes
mellitus. Juga dibutuhkan prevalensi imunisasi yang telah dilakukan, banyaknya
tenaga kesehatan yang masih beroperasi di daerah tersebut.
Setelah penentuan faktor risiko
bahaya, selanjutnya adalah menentukan langkah yang akan diambil apabila risiko
kesehatan tersebut meningkat. Skenario mendiskripsikan estimasi intensitas dari
kejadian masalah kesehatan akibat bencana dengan mempertimbangkan faktor
geografis, sosial, dan kesehatan. Keluaran (output) yang diharapkan adalah
adanya pemetaan terstandar untuk memfokuskan pada pencegahan peningkatan
prevalensi masalah kesehatan pasca bencana.
Selanjutnya adalah penetapan
kategori kerentanan berdasarkan masing-masing risiko penanda. Area yang rentan
(vulnerable area) dapat didasarkan pada tingginya prevalensi masalah kesehatan
seperti malnutrisi yang mengacu pada kerentanan pangan dan kejadian stunting
yang cukup tinggi. Data yang diolah nantinya akan menjadi pertimbangan keputusan
pengambil kebijakan terkait upaya preventif dan mitigasi yang perlu dilakukan.
Hal ini tentu saja memerlukan sinergisitas dari berbagai badan pemerintah
terutama dari kementrian kesehatan berserta dinas di daerah.
Peta yang sudah terbentuk
ditujukan untuk menjawab pertanyaan berikut seperti bagaimana area berisiko
akan dilindungi, siapa yang akan melakukan mitigasi tersebut, dan bagaimana
area rawan dimasukkan ke dalam rencana utama (emergency). Hal lain yang tak
kalah penting adalah mendefiniskan area yang akan dipetakan sesuai dengan
kuantitas dan tingkat keparahan risiko yang mungkin terjadi, misalnya 1 = low,
2 = moderate, 3 = severe, 4 = very serious, 5 = catastrophic.
Pada pasca bencana, fase recovery
yang dilakukan dapat memberikan data untuk memperbarui peta kerentanan agar
lebih presisi dan akurat. Peta menyajikan lokasi dan persebaran kerusakan
akibat bencana serta mendiskripsikan secara visual. Menunjukkan bagian recovery
yang telah dilakukan dan perkembangannya. Peta kerentanan hanyalah bagian dari
upaya untuk melindungi sumber daya yang ada.
Strategi pra bencana bisa
dilakukan dengan meminimalisir risiko kejadian prevalensi masalah kesehatan
misal memaksimalkan pelayanan kesehatan dan meningkatkan status gizi pada area
yang mendapat risiko bencana tinggi. Selain meminimalkan risiko malnutrisi
populasi terdampak, juga dapat mengurangi risiko malnutrisi dan prevalensi
masalah kesehatan lainnya, seperti NCD ataupun CD.
Selanjutnya melalui HANFORD,
pemerintah juga dapat memperkirakan lokasi serta jumlah kerugian kesehatan yang
mampu di-recovery. Hanford kemudian akan berintegrasi dengan peta ketahanan
pangan Indonesia (Atlas Food Security) untuk menginformasikan terkait
kerentanan pangan pada suatu area. Dengannya pemerintah mampu menentukan pemberian
bentuk pangan bantuan pada korban bencana sesuai dengan risiko kerentanan
pangan yang idealnya meningkat pasca bencana.
Disisi lain diperlukan juga data
riset geografi yang mampu mengukur risiko kejadian bencana dikemudian hari.
Sebagai negara strategis yang berada di area Ring of fire, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk
meminimalkan risiko kebencanaan yang mampu mengancam kesejahteraan dan
kesehatan warganya. Dengan demikian dibutuhkan solusi berbasis teknologi untuk
hal tersebut. Health and Nutrition Vulnerability Map For Disaster Risk
Reduction (HANDFORD) memberikan jalan keluar bagi permasalhan di atas.
Hanford merupakan sebuah
vulnerability Map atau peta kerentanan yang menyajikan dan mensinergiskan data
kesehatan seperti prevalensi malnutrisi hingga jumlah populasi berisiko yang
mungkin terdampak pasca bencana. Peta ini terintegrasi secara geografis dan
social sebagai rujukan utama dalam penanganan baik pra, saat, ataupun pasca
bencana. Vulnerability Map ini memungkinkan setiap orang untuk dapat mengakses
seluruh infomasi yang disajikan dalam sebuah website. Sehingga diharapkan peran
pemerintah bisa terintegrasi secaa interdisipliner yang melibatkan banyak pakar
baik kebencanaan, pangan, hingga kesehatan.
nb: BTW ini ide dulu pas hackathon sama Hera Ratnawati, yang ga jadi :) Astaga :)
Semoga siapapun yang membaca dan terinspirasi, gua terbuka buat diskusi yak :)
#bencana #bencanaindonesia #rismamensos #mentrisosial
juga diupload di : https://adibahamanto.medium.com/handford-health-and-nutrition-vulnerability-map-for-disaster-risk-reduction-in-indonesia-22fd3a0e2d19
Comments
Post a Comment