MITI, Sardjito, dan Janji



1 Januari pukul 22:54 - beberapa jam setelah menyaksikan 6-2 aku memaksakan diri untuk sedikit menjadi sibuk, setidaknya menyelesaikan barisan halaman novel yang sempat tertunda dan mencatat sedikit dari podcast yang kudengar beberapa hari lalu. Walau tidak bisa menyebutnya podcast karena aku harus menatap layar laptop selama satu jam sembari membuka catatan.

 

Sebagai manusia yang mudah lupa, ada satu goodwill yang setidaknya ingin kutuntaskan tahun-tahun ke depan, yaitu dengan menuliskan hal-hal baik yang mungkin suatu hari akan kuingat dan bisa jadi pengingat. Hal ini cukup bermanfaat bagiku, setidaknya saat sedang futur dan kehilangan willingness untuk melanjutkan perjalanan.

 

Ada sebuah podcast dadakan dan kurasa memang sangat mendadak, karena isinya sebagian adalah reminder dan quotes dari obrolan ringan pagi hari. Tak lepas dari guyonan tentang kesempurnaan dan menyempurnakan, walau aku terlampau malas untuk membahasnya di sini tapi harus kuakui memang "Hidup terlalu singkat untuk dibawa selalu serius," Pasalnya ada hal-hal menarik yang bisa jadi reminder baik ke depannya - mengingatkan bahwa kau pernah berada di titik ingin dan sadar melakukan kebaikan.

 

Entah mereka (podcaster) sadar atau tidak tapi di menit-menit awal aku menangkap sebuah pesan yang cukup dalam. Hal ini tentang being now atau be present. Terlepas dari segala mimpi, harapan, ambisi manusia tentang masa depan dan karena memang itu naluri kita untuk bertahan hidup. Maka 'being present' bisa menjadi sebuah seni dalam menikmati setiap waktu yang berkurang.

 

Aku masih ingat bagaimana materi "Finding Me, Sharpening Me, dan Provening Me" diajarkan lebih dari dua kali di asrama dan berasa sangat intensif walau pada akhirnya aku mengetahui materi itu tidak akan pernah selesai diajarkan.

 

Perjalanan memperbaiki diri adalah perjalanan yang tidak akan pernah selesai seumur hidup. Begitulah kira-kira yang kudapat selama 23 tahun hidup di bumi. Entah berapa lama lagi aku harus menyadari banyak sekali potongan puzzle yang masih berserakan. Walau tidak ada yang meminta ku merapikanya, tapi sebagai manusia yang sadar akan tugas dan kewajiban aku tetap harus mencari tahu gambar apa yang sebenarnya ingin disampaikan Tuhan kepadaku.

 

BEING PRESENT: Menkonkritkan harapan. 
Visi itu gambar dan misi itu potongan puzzle.

 

Kata konkrit sedikit terasa berat saat diucapkan, seolah yang kita lakukan selama ini adalah tidak beralasan atau tanpa rasa lelah. Padahal aku tahu pasti bahkan untuk sekedar bertahan menjadi sosok yang taat dengan kewajiban minimal saja sangatlah berat, kecuali jika itu sebuah kebiasaan tanpa kesadaran melakukan. Bagaimana tidak, hati dan akal kita setiap detik saling dibolak-balik kan. Hingga kita tak sadar sedang berperang dengan kesadaran dan nafsu.

 

Yang jelas, aku percaya bahwa setiap dari kita dilahirkan dengan tujuan dan alasan. Tugas kita sederhana, menemukan tujuan/alasan itu. Entah itu besar atau kecil yang pasti Tuhan akan memberikan balasan yang sesuai.

 

Selanjutnya masih tentang hal basic, yaitu kesadaran. Dialog ini akan diawali sebuah quotes yang kuambil dari potongan percakapan podcast.

 



"Embaded (tertanam) itu bentuk sebuah kesadaran dalam bertindak dengan menghadirkan hati (di segala aktivitas)"

 

Poin lain kudapat dari dialog singkat dengan clinical instructor pasca (baca: pembantaian) diskusi kasus kritis minggu lalu di Sardjito. Tentu saja walau mental break down, tapi aku tetap merasa satisfying dengan CI, beliau memberikan setidaknya pusaka (kalau kata Buya) untuk kami bisa meneruskan langkah pasca kuliah.

 

"Semua orang memiliki peran, jangan mengecilkan peran. Maka setelah itu adalah mampukan dirimu dalam peran itu," kurang lebih seperti ini kalimat terakhirnya. Aku mendapatkan titik kesadaran sekaligus kepuasan (juga rasa syukur) karena diberikan kesempatan untuk menimba ilmu dari mereka yang 'sadar' akan peran dan tugasnya. Lebih luas lagi tugas seorang hamba di dunia.

 

Embaded awareness, mungkin ini adalah diksi yang cocok dalam poin pembahasan di atas. Kalau dalam islam hal ini disederhanakan dengan "Diniatkan untuk kebaikan", dan sekarang aku semakin paham mengapa poin niat menjadi yang pertama di hadist arba'in. Karena dengan niat kau bisa menjadi lebih sadar dan paham mengapa dan untuk apa kau melakukan suatu hal. Being present, living the moment dan akhirnya kau benar-benar bisa lebih menemukan dirimu dalam proses.

 

Mungkin ini sedikit random tapi memang puzzle di hidup kita tak se-epic film marvel dan kehadiran kita tak se-heroik perkataan uncle Ben "Kekuatan yang besar, muncul dengan tanggung jawab yang besar" Sebenarnya aku cukup setuju dengan pernyataan uncle ben, saat ia mencoba menyadarkan peter bahwa "Everything happens for a reason" termasuk juga pertemuan dan perpisahan. Karena semua sebab pasti ada akibat sesederhana semua hal terjadi dengan alasan. Entah apakah dua hal itu perumpamaan yang benar atau hanya aku yang mengarang.

 

Jadikan hal ini sebagai aktivitas sewajarnya seperti keseharian kita, 

jangan menjadikannya beban.  (Host)

 

Rumus ketiga adalah berbicara tentang konsistensi. Saat seseorang telah konsisten menjalankan sesuatu, biasanya hal itu tidak akan lagi menyulitkan sinapsis antar dua neuronnya karena telah terbentuk jembatan di sana. Sederhananya, karena sudah dibiasakan. Kupikir ini hanya akan berlaku bagi pekerjaan yang rutinitas dan cenderung tidak memerlukan peningkatan skill, kreativitas, dan improvisasi. Seperti solat, kegiatan ibadah harian, pekerjaan administrasi, atau apapun itu. Satu hal yang kulupa bahwa ilmu kita akan selalu kurang sehingga di sisi lain kita selalu diminta untuk terus mengembangkan skill, termasuk dalam ibadah harian.

 

Jika solat bisa dihitung sebagai sebuah kebiasaan, maka menjadikannya tertib dan khusyu adalah sebuah 'improvement'. Ilmu tentang bagaimana meluruskan niat dalam bertindak dari bangun hingga tidur lagi tentu tak ada satu pun dari kita yang benar-benar sempurna mengetahui bahkan menjalankannya. Semua butuh improvisasi dan peningkatan setiap saat. Sederhananya semua yang kita lakukan sehari-hari perlu konsisten. Setidaknya tingkatkan 0,001% kualitas hidup setiap hari, jika dirasa 1% itu berat.

 

Banyak hal sehari-hari yang memerlukan improvement, termasuk berorganisasi. Pasalnya beberapa orang tidak menjadikan improvement tadi sebagai sebuah kebiasaan, dalam konteks organisasi. Beberapa cenderung terlalu banyak menjadikannya sebuah pekerjaan dan mereka berakhir dengan beban. Aku salah satu di antara mereka dan hal itu sangat melelahkan. Mungkin sejak sekarang, kita bisa menjadikan hal-hal tadi sebagai sebuah kebiasaan. Meningkatkan kualitas hidup sepersekian persen setiap hari, mungkin bisa dengan membetulkan bacaan Al Fatihah untuk nanti saat solat maghrib dan seterusnya.

 

Menjadi teladan adalah cara terbaik menasehati.

 

Hal keempat yang sebenarnya sempat kudapat saat menyelesaikan praktek di Sardjito. Aku paham betul bagaimana CI ku sangat berdedikasi dengan apa yang dilakukannya. Adaptasi memang tidak selalu mudah, tapi tiga minggu di sana semakin terasa kurang karena ilmu yang ku dapat ternyata belum seberapa.

 

Terlepas dari perasaan tidak puas tadi, aku sangat setuju saat salah satu host (aku lupa yang mana) menjelaskan sedikit tentang pentingnya teladan dalam kehidupan. Jika terkadang kau mulai lelah dan hilang arah, atau ketika ingin rebahan saja sembari menikmati senja, kopi, dan kenangan maka kau bisa memilih untuk membaca kalimat ini. Sederhana tapi cukup bisa membuang rasa malasmu jika saja kau mau paham,

 

"Engkau adalah seorang muslim," bahkan sebelum kau bertemu dan memutuskan untuk ke dunia, kau pertama kali mengaku sebagai seorang muslim. Tuhan menjelaskannya di alam sebelum rahim, mereka menyebutnya alam ruh. Tentang bagaimana kita mengakui bahwa tiada Tuhan selain Dia. Beban yang berat bukan? Menjadi seorang muslim adalah sebuah identitas lebih dari cukup untuk membuat kita sadar mengapa dan bagaimana harus melangkah selanjutnya. Kupikir aku akan membahasnya di page selanjutnya.

 

Setidaknya, secara pribadi punya kontribusi. (Host)

 

Entah atau aku yang salah menangkapnya tapi mungkin maksud kalimat di atas adalah tentang bagaimana kita bisa memampukan diri kita dalam setiap amanah. Memaksimalkan apa yang dititipkan Tuhan ke kita, termasuk kemampuan berpikir, merasa, intuisi, dan kepekaan sebagai manusia.

 

Indonesia gak cuma wacana, tapi juga harus kita coba hadirkan secara nyata 

(Mas Azzam)

 

Yah, ini memang sangat quoteable sih. Tapi bagiku hal ini masih terasa sangat jauh, entah bagaimana sampai sekarang aku hanya ingin menyelesaikan urusan dengan diriku dan Tuhan. Menyelami diri adalah perjalanan terpanjang dan akan sangat melelahkan, tapi kau akan menemukan Tuhan di sana. Kupikir Dia tidak akan meninggalkan hamba Nya yang senantiasa mengingatNya dalam situasi apapun, termasuk saat ingin membanggakan negara tercinta.

 

Jangan terjebak istilah. (Host)

 

Haha, sebenarnya ini juga yang selama ini ku soroti sebagai salah satu makhluk berakal di bumi. Banyak sekali istilah yang seolah benar-benar sudah mendefinisikan tentang apa yang kita rasakan dan sialnya ia juga menyetir bagaimana kita akan merespon. Jika ku sebut "Quarter Life Crisis" mungkin banyak yang akan berpikiran hard, young, dumb, blood. Atau tidak?

 

Entahlah, kupikir sedikit merepotkan jika kita harus terus mengikuti dan membenarkan definisi-definisi masyarakat yang tidak akan ada habisnya. Cukup fokus ke diri sendiri dulu, lalu buat definisimu sendiri. Seringkali kita melihat hal baik dari kaca mata yang salah. Ini juga yang digambarkan Tere Liye dalam novel terbarunya. Kau bisa meminjamnya sebagai self-improvement book jika ingin. Beberapa manusia yang merasa terluka biasanya akan melihat sebuah anugerah sebagai cobaan, dan hal itu hanya akan berakhir saat ia bersedia menerima apa yang telah diberikan.

 

2-1-22 14:40

Pojokan ruangan cream.

  

Comments

  1. apresiasi, jujurly ku suka catatan penuh pesan2 ini.. break a leg, keep up the goodwork

    ReplyDelete
  2. the result of your reflection about those experiences that you feel is very complex, however aku merasa terwakili. walaupun tulisanmu bukan suaraku, but then again i can't deny you've advocated my inner self out there.

    ReplyDelete
    Replies
    1. so thankyou for sharing via writing..

      Delete
  3. Aku baca tulisan ini berulang, tapi keadaanku yang berbeda membuat pesanmu yang sama menjadi berbeda dan menguatkan aspek yang ingin aku ingat. Aku rasa keputusanmu untuk terus menulis adalah keputusan yang berdampak baik, nggak hanya untukmu, tapi pembaca (sepertiku misalnya).

    ReplyDelete

Post a Comment