JOG-WNS #02 : Menyambut Sunrise, Mengejar Matahari



              THE CLIMBERS

Perjalanan dilanjutkan esok hari. Dini hari. Esok jam 3 lebih tepatnya. Sembari Mila berkutat dengan tugas laporannya hingga tengah malam, rupanya aku dan novi sudah tepar duluan. Kami terlelap bahkan setelah menghabiskan ssatu toples kripik pedas dari ibunya Mila. Lagu mengalun mengantarkan menuju alam mimpi. Aku menggelas selimut hingga menutupi badan, tak kusangka mala mini sudah sangat dingin. Aku melirik suhu di handphone, aku lupa menunjukkan suhu berapa. Intinya besok pagi akan menajdi semakin dingin.

Tak lama kemudian, alarm kami bersahut-sahutan. Aku melirik hapeku. Mendapatkan pukul 03.00 terpampang jelas di layar kaca depan. Kudapati Novi dan Mila masih terlelap membiarkan kedua alarm mereka saling membangunkan. Setelah mematikan satu alarm, aku segera bangun sembari mencoba mengumpulkan nyawa. Sesaat kemudian Novi dan Mila bangun. Setelah kami solat malam, perjalanan pun dilanjutkan. Menuju destinasi pertama kami.

Bukit SIkunir. Bukit ini merupakan destinasi wisata wajib dikunjungi saat ke Dieng. Setelah berpamitan dengan orang tua Mila, kami Bersama adiknya Mila pun memulai perjalanan panjang kami. Episode pertama ini kami sebut dengan mengejar matahari. Rencana awal adalah kami mulai naik ke Sikunir tepat jam 3 pagi, tapi harus mundur jam 4 setelah solat subuh, karena kebetulan Mila lupa jalan ke sikunir dan gmaps tidak begitu bersahabat saat tak ada lampu jalan sepanjang menuju Sikunir. Untungnya da sosok bapak dan ibu yang juga kebetulan sedang mencari Sikunir, alhamdulillahnya kami ada yang membersamai hingga tiba di tempat tiket masuk.


Puncak Sindoro

Rupanya kami sudah sangat telat. Tak sedikit mereka yang ingin menikmati panorama Sikunir saat akhir pekan.Deretan bus kecil hingga mobil membuat kami memutar jalan untuk menuju parkiran. Setelahnya, kami pun bergegas mengikuti romobongan menuju atas bukit. Dalam gelap masih jelas terlihat tumpukan batu menjadi tangga hingga atas bukit. Angin dingin mulai merasuk jaket menembus kulit. Aku melirik handphone mengecek suhu, sekitar 17 derajat celcius. Kini aku tak berani melepas sarung tanganku. Kuikatkan lebih erat lagi jaket dan topiku.

Perjalanan ke atas kira-kira 800 meter. Semuanya adalah susunan batu menjadi tangga yang rapi. Aku tak mendapati pemandangan berarti karena semuanya masih tertutup malam dan gelap. Yang ada hanyalah barisan para pendaki (climbers) yang juga sedang berusaha untuk mencapai puncak sikunir. Dari muda dan tua semuanya mencoba. Tak ketinggalan barisan ibu-ibu paruh baya rupanya juga semangat untuk mencapai puncak. Udara masih dingin hingga matahari terbit. Sayang sekali, waktu kita tak banyak untuk mencapai ke puncak sana.

Aku dan ketiga temanku sudah saling menyemangati dan menunggu untuk naik. Ayo Novi! Ayo Mila, Dibah! Kita pasti bisa! Kira-kira seperti itulah idealnya. Tapi kenyataannya kita sambat.

“Ini kapan sih sampainya?”
“Masih atas lagi po?”
“Kok mataharinya belo kelihatan yak?” sambat gak papa, yang penting gak berhenti.

Entah mungkin karena aku naik dengan anak-anak asrama, jadinya seketika berkelebat ingatan tentang kajian di asrama tentang CLIMBERS. Kalau tidak salah ini disampaikan oleh banyak tokoh dan pembicara di asrama. Tentang bagaimana kau akan menjadi sosok karakter pribadimu, apakah Quitters, Campers, atau Climbers.


SRIKANDI-CLIMBERS

Paul Scholz pernah mencetuskan tipe kepribadian seseorang dalam kemampuannya untuk menghadapi permasalahan hidup sebagai ukuran kecerdasan. Mereka dibagi menjadi Quitters adalah mereka yang berhenti, oke Namanya aja Quit ya berhenti. Cukup pesimis juga. Kedua adalah Campers, adalah mereka merasa nyaman di zona tertentu sehingga tidak memiliki keinginan untuk mendapakan hal yang lebih baru. Kalau kata fourtwnty sih, “Keluarlah dari zona nyaman”. Terakhir ada yang namanya disebut dengan Climbers atau para pendaki. Mereka adalah sosok yang optimis dalam mencapai suatu hal. Mereka tidak mudah terjebak oleh zona nyaman dan terus mendaki untuk menemukan batas atau bahkan menembus batas lalu melampauinya dan membuka potensi-potensi diri yang lain. Lalu mereka menikmati berproses dalam kebaikan yang terkadang melelahkan.

Tentu kita semua ingin menjadi sosok climbers yang akhirnya bisa mendapatkan pemandangan terindah di saat yang tepat. Disini banyak hal bisa dipelajari. Kami tiba di atas tepat saat sunrise dimulai, Bersama dengan ratusan climbers lainnya. Rupanya semua orang di sini bersedia berjuang bersama. Rupanya banyak orang yang tak sedang terjebak dengan zona nyaman. Terlepas dari usia dan karakter, bukankah kami benar-benar untuk berproses dengan caranya masing-masing.

“If you wanna walk fast then walk alone. But if you wanna walk far, walk together”


BACKLIGHT GAK PAPA

Quotes itu kini bukan pesan sekedar, tapi sudah merasuk hingga alam bawah sadar. Dan terasa dalam perjalanan panjang ini. Perjalanan ke atas membutuhkan waktu kurang lebih 30-40 menit tanpa ngobrol dan sambat. Selepas sampai di atas, kami bertemu dengan ratusan climbers lainnya. Bersama kami menyusup ke dalam kerumunan pendaki yang juga sudah menyiapkan kamera untuk menangkap sunrise yang bahkan sering mereka lihat setiap hari. Lantas apa bedanya? Jelas beda, kali ini kau harus membakar sekian ratus kalori untuk bisa menyaksikan kejadian biasa setiap harimu.

Persis seperti yang aku lihat di mana pun setiap harinya. Sunrise masih terlihat sama, masih di timur. Alhamdulillah, kalau di barat kan berabe ntar! Alhamdulillahi Masya Allah, bahkan sebagus apapun kamera dapat menangkap momen, hanya mata yang bisa melihat sekaligus merasakan.


MENCARI MILA

                Dari atas Sikunir kita bisa melihat banyak puncak lainnya tak kalah indah. Ada puncak prau, puncak sikembar (sindoro-sumbing). Kemudian Mila sebagai warga lokal Tieng bercerita bagaimana dulu legenda Sindoro Sumbing terjadi. Salah seorang climbers ikut menyimak. Tak tergantikan memang, kita bisa mengetahui cerita legenda suatu tempat yang kita kunjungi dan tepat saat melihat atau berada di sana. Semoga suatu hari aku bisa mendaki lebih ke puncak prau atau sumbing. Semoga.


Comments