Script Sweat : Cerita Skripsweat Jaman Covid


Cerita tentang skripsi, entah di semester berapa pun kamu berada. Cerita dengan judul ini pasti akan bergenre horror, terutama kamu yang sedang mangkir dari revisi. Haha, sama sepertiku beberapa bulan lalu. Tapi percayalah setiap cerita menganduk amanat, karena itu yang diajarkan pada kita sejak SD bukan? 

Dan biasanya amanat bisa disimpulkan setelah membaca keseluruhan kisah. Itulah mengapa  setelah wisuda beberapa minggu lalu, baru kusempatkan menulis skripsi ini.


Mungkin bagi mahasiswa akhir akan sering mendengar istilah, “Skripsi yang baik, adalah skripsi yang selesai”

 

Sudah ratusan kali timeline-ku enam bulan terakhir diisi dengan motivasi yang sama. Percayalah setiap kata itu mengandung nada, dan tinggal tunggu waktu yang tepat nada itu akan bisa kau dengar. 


Sudahlah, aku tak ingin berpuiti  kali ini. Membayangkan kemageran menulis beberapa bulan lalu saja sudah menyedihkan bila diingat ulang.

 

Tapi jauh dari itu, tentu saja banyak faktor X yang sebenarnya akan membantumu bahkan disaat kau tak menyadari kau tengah dan telah dibantu.

 

WHERE ARE IDEAS?

 

Mari kita mulai dengan awal semester tujuh di mana, hanya tinggal satu mata kuliah wajib yang perlu kuambil. Sedikit aneh mamng di jurusanku, tapi tetap saja kebijakan kurikulum baru tidak bisa ditolak. 


Masak ujug-ujug mau ganti jurusan, kan ga mungkin. UKT aja ga turun-turun hehe.

 

Aku masih mengingat bagaimana remahan nilai Metodologi Penelitian (metopen) di semester enam yang penuh drama. (re : lupa bayar UKT dan hampir jadi cuti)

 

Setelah jatuh bangun mengaktifkan status mahasiswaku karena kekonyolan itu, selanjutnya kehidupan kampus diterpa badai metopen. Di jurusanku metopen diberikan di semester lima, eh berarti sebelum badai UKT yak? Nah itu maksudnya.

 

Setelah hancur dengan metopen yang mendapat feedback kurang memuaskan dari dosen karena mereka tidak mengerti alur berpikirku, lagi pula selama kuliah kita jauh dari bahasan kualitatif. 


Saat metopen dengan berani kuajukan judul kualitatif human-behaviour dan tentu saja tidak ada dosen yang bisa memahami kebingungan yang kurasakan.

 

Ah, sudahlah. Mungkin ini faktor yang aku juga yang kurang banyak riset tentang literasi food-labelling.

 

Tapi tidak apa-apa. Toh ini metopen hanya pemanasan, tinggal tunggu tanggal main saat mulai mengumpulkan judul penelitian. Aku yakin judul itu pasti muncul di saat yang tepat, rezeki tidak kemana. 


Dan benar saja, H-1 minggu dari deadline penelitian semester 7 ku, aku belum juga menemukan judul yang tepat.

 

Beberapa temanku sudah sumringah karena kedapatan projek dengan dosen dan biaya penelitian mereka ditangguhkan full. Lalu bagaimana nasib ku? Ah, aku yakin Tuhan pasti menyimpan rezeki lain untukku. 


Selanjutnya kutemui beberapa kating dan minta wangsit dari mereka. Kali saja ada beberapa nasehat dan pengalaman yang bisa kuambil.

 

Ternyata tidak. Mereka bahkan menceritakan bagaimana kejamnya dunia perskripsian di awal semester 7. Ada yang sikut-sikutan ingin mengambil proyek dosen atau fakultas, meninggalkan dan ditinggalkan dalam penelitian karena penuh kuota, dan banyak lagi. 


Tentu saja tiada yang membaik dari hari itu. Aku semakin khawatir. Hingga kuputuskan untuk berdiam diri di tempat semedi dua minggu ini sembari mencari wangsit dari sebuah perangkat keras di ruangan WOW.

 

Sejak laptopku sering hang, aku jadi semakin giat membaca dan menulis di ruangan itu. Tentu saja seluruh mahasiswa kampus tahu WOW (Window of the World). Suasananya bersahabat karena semua dinding terbuat dari kaca, ktia bisa memandang ke luar dan menikmati hujan tapi tak basah.

 

Sesaat aku pindah menuju ruang Tesis-Desertasi lantai dua. Tempat ini setelah makan siang selalu penuh, mungkin penuh dengan mereka yang sedang menyelesaikan penelitiannya. Bahkan sampai jam 8 malam. 


Misalnya Perpusat membuka pelayanan sampai jam 12 malam, ku rasa tempat-tempat ini akan tetap ramai dikunjungi.

 

Beberapa kali ku scroll bahan skripsi yang menurutku mirip dengan penelitianku, atau setidaknya apapun yang bisa dan mungkin dikerjakan dalam waktu dekat ini.

 

Tak kusangka aku menemukannya. Sebuah ide sederhana untuk membuat biskuit sebagai pangan darurat untuk malnutrisi. Sekilas ide ini menarik. Ditambah dosen pembimbing untuk ide ini juga termasuk bukan dosen killer. 


Kulihat beberapa judul yang mirip, ternyata benar saja. Satu obyek biskuit diteliti oeh tiga orang dengan sudut pandangn dan variabel berbeda. Ada yang meneliti tentang organoleptic, daya simpan, dan kandungan gizinya. 


Menarik sekali. Kenapa tak pernah terpikirkan olehku.

 

Langsung saja kutangguhkan sisa jam malamku untuk membaca dan mengeksplor lebih tiga penelitian itu. Sesaat sedang mencari ada literatur tambahan yang menyebutkan Indonesia masih jauh dari mitigasi bencana yang ideal, terutama tentang pangan daruratnya.

 

Tentu saja, hal ini menjadi topik yang menarik. Bagaimana kalau kita buat biskuit tentang pangan darurat untuk bencana? Sepertinya bisa.


To be continued ...


Script Sweat : Cerita Skripsweat Jaman Covid (sinothouz.blogspot.com)

Part 2 SCRIPT SWEAT : FINDING TEAM (sinothouz.blogspot.com)

Part 3 Script Sweat : SEMINAR PROPOSAL (sinothouz.blogspot.com)

Part 4 Sript Sweat : Lotre Keberuntungan (sinothouz.blogspot.com)

Part 5 Sript Sweat : Broken Data dan Drama Simaster (sinothouz.blogspot.com)

Part 6 Sript Sweat : Sidang Day (sinothouz.blogspot.com)



Comments